15 Jul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Zakat Fithri / Fithroh -2
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Menyambung tulisan yang telah lalu.
Pihak yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fithri/Fithroh
Penulis Al Fiqh Al Manhaji Hafizhahumullah mengatakan,
“Wajib bagi orang yang terpenuhi padanya 3 syarat yang sudah disebutkan untuk mengeluarkan zakat fithri bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahinya misalnya orang tua dan seterusnya kemudian anak dan seterusnya serta istrinya.
Sehingga dia tidak wajib mengeluarkan zakat bagi anaknya yang telah baligh dan mampu mencari nafkah, kerabat yang tidak wajib dinafkahinya dan ini merupakan hal yang disepakti para ulama. Bahkan tidak sah seseorang mengeluarkannya kecuali dengan izinnya atau perwakilan darinya.
Jika dia memiliki kelapangan rizki namun tidak mencukupi untuk seluruh kerabat yang wajib dinafkahinya maka hendaklah dia dahulukan dirinya sendiri kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayahnya, ibunya dan anaknya yang sudah besar namun belum mampu mencari nafkah”[1].
Jenis dan Kadar Zakat Fithri
Penulis Al Fiqh Al Manhaji Hafizhahumullah mengatakan,
“Zakat fithri adalah 1 sho’ bahan makanan pokok suatu daerah yang digunakan oleh seorang mukallaf. Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu. Terdapat juga dalam Shohih Bukhori no. 1439 dari Abu Sa’id Al Khudriy Rodhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا نَخْرُجُ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ. وَقَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالْأَقِطُ والتَّمْرُ
“Dahulu kami mengeluarkan 1 sho’ dari bahan makanan pokok pada hari raya di masa Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Ketika itu bahan makanan pokok kami adalah gandum, kismis, keju dan kurma kering”.
Sho’ yang digunakan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam merupakan takaran 4 mud yaitu telapak tangan. Takaran 4 telapak tangan ini senilai dengan 3 liter takaran. Senilai dengan 2400 gram kurang lebih timbangan”[2].
Tentang kadar zakat fithri dalam ukuran berat/timbangan, maka para ulama berselisih pendapat. Diantara mereka ada yang mengatakan semisal pendapat di atas. Ada juga yang menetapkan 3 kg dan yang lain.
Yang jelas seandainya kita membayarkan lebih dari ketentuan juga tidaklah mengapa. Allahu a’lam.
Penulis Al Fiqh Al Manhaji Hafizhahumullah mengatakan,
“Jika umumnya di negeri kita makanan pokoknya adalah gandum maka zakat fithri seseorang senilai dengan 3 liter gandum. Mazhab Imam Syafi’i Rohimahullah memandang tidak sah zakat fithri jika dikeluarkan dengan nilai (uang). Bahkan harus dengan bahan makanan pokok yang umum di negeri tersebut. Namun tidak mengapa berdasarkan Mazhab Imam Abu Hanifah Rohimahullah terutama pada masa sekarang. Pendapat beliau membolehkan mengeluarkan zakat fithri dengan nilai (uang). Hal ini karena uang lebih bermanfaat bagi si fakir pada saat ini dibandingkan dengan bahan makanan pokok serta lebih mewujudkan tujuan yang diharapkan”[3].
Imam Nawawi Rohimahullah (penulis Syarh Shohih Muslim) mengatakan,
قَالَ الشَّافِعِيُ وَالْاَصْحَابُ لَا يَجْزَئُ اخْرَاج القِيْمَة وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُوْرُ
“Imam Syafi’i dan para pengikut mazhabnya Rohimahullah berpendapat bahwa tidak sah mengeluarkan zakat fithri dengan nilai (uang). Dan inilah pendapat jumhur/mayoritas ulama”[4].
Inilah pendapat yang lebih tepat dan lebih sesuai dalil yang ada, misalnya hadits Ibnu ‘Umar dan Abu Sa’id Al Khudriy rodhiyallahu ‘anhum yang telah disebutkan.
Waktu Penunaian Zakat Fithri
Penulis Al Fiqh Al Manhaji Hafizhahumullah mengatakan,
“Adapun waktu wajibnya maka telah disebutkan bahwa waktunya dimulai dari dengan tenggelamnya matahari di hari terakhir di bulan Romadhon.
Sedangkan waktu boleh mengeluarkannya adalah seluruh hari di Bulan Romadhon dan awal hari ‘ied.
Disunnahkan menunaikannya ketika waktu subuh di hari ‘ied sebelum berangkat sholat. Sungguh telah terdapat sebuah hadits dari Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma dan diriwayatkan oleh Bukhori no. 1342,
وأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلَى الصَّلاةِ
“Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar menuju sholat ‘ied”.
Makruh/dibenci mengakhirkannya hingga sholat ‘ied hingga akhir hari ‘ied. Jika diakhirkan maka berdosa dan wajib mengqodhonya”.
Adapun tentang waktu bolehnya mengeluarkan zakat fithri, maka waktu paling cepat boleh menunaikannya adalah sehari atau dua hari terakhir Bulan Romadhon dan bukan seluruh hari Bulan Romadhon. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma,
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوْا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Adalah kebiasaan Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang yang menerimanya dan mereka menerimanya 1 hari atau 2 hari sebelum ‘iedul fithri”[5].
Inilah pendapat shahabat yang lebih selamat dan lebih tepat. Allahu a’lam.
Kepada Siapa Zakat Fithri Diberikan ?
Mayoritas ulama yang bermazhab Syafi’i berpendapat zakat fithri dapat disalurkan kepada 8 golongan yang Allah Subhana wa Ta’ala sebutkan dalam surat At Taubah ayat 60. Namun pendapat yang lebih tepat bahwa zakat fithri merupakan kewajiban jiwa semisal kafarot dan hanya diberikan untuk 1 golongan saja yaitu fakir dan miskin. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصِّيَامِ مِنَ الْلَغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنَ
“Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyuci puasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang kotor/tidak berguna serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin”[6].
Demikian, Allahu Ta’ala A’lam.
Menjelang berbuka, 27 Romadhon 1436 H / 15 Juli 2015 M
Aditya Budiman
[1] Lihat Al Fiqh Al Manhaji hal.230/I terbitan Darul Qolam, Damaskus.
[2] Idem 230-231/I.
[3] Idem hal. 231/I.
[4] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab oleh An Nawawi hal. 132/VI via Syamilah.
[5] HR. Bukhori no. 1511.
[6] HR. Al Hakim no. 1488. Dinilai shahih dan sesuai syarat Bukhori oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabiy Rohimahumullah.
Leave a Reply