10 Apr
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Puasa Sunnah Ala Nabi
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Puasa merupakan sebuah amalan yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana termaktub dalam hadits qudsi,
قَالَ اللهُ عَزَّ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Setiap amalan anak keturunan Adam untuknya kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan ganjarannya”[1].
Betapa agungnya puasa, Allah ‘Azza wa Jalla sendirilah yang akan menentukan besaran pahala yang didapatkan orang yang berpuasa.
Sebagai seorang muslim sudah barang tentu kita menyakini dan berusaha meniru pola Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Sebab beliaulah sebaik-baik hamba Allah dan utusan-Nya. Nah, tekait ibadah puasa sunnah tentu dari beliau pun ada pola tuntunannya, kapan beliau demikian banyak memperbanyak puasa. Ibunda kita, ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘anha telah menuturkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ، وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
“Merupakan kebiasaan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga orang yang melihat akan mengatakan bahwa beliau senantiasa berpuasa. Dan merupakan kebiasaan beliau juga beliau tidak berpuasa hingga orang yang melihat mengira bahwa beliau tidak akan pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa selama sebulan penuh selain pada Bulan Romadhon. Akupun tidak pernah melihat beliau demikian banyak berpuasa dalam satu bulan melainkan pada Bulan Sya’ban”[2].
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,
“Hadits ini merupakan dalil bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam terkadang berpuasa berturut-turut dan terkadang pun beliau tidak berpuasa pada beberapa hari berturut-turut.
Boleh jadi hikmahnya –Allahu a’lam- bahwa beliau memperhatikan kemashlahatan ketika itu. Jika beliau banyak kesibukan dan silih berganti maka beliaupun menunda puasa. Sehingga beliau dapat menyibukkan dirinya dengan mashlahat manusia secara umum. Sementara terkadang ketika kita berpuasa, maka badan kita akan terasa lemah untuk melakukan tugas demikian. Namun ketika beliau tidak terlalu sibuk maka beliau berpuasa dalam beberapa hari terus menerus. Nah, berdasarkan hal ini maka dapat diketahui bahwa Nabi tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk puasa atau tidak berpuasa (sunnah)”[3].
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Al Bassam Rohimahullah mengatakan,
“Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berpuasa terus menerus dalam banyak hari secara kontiniu hingga orang mengira bahwa beliau senantiasa berpuasa setiap hari. Namun beliau tidak pernah terus menerus berpuasa selama satu bulan melainkan hanya pada Bulan Romadhon. Demikian juga terkadang beliau terus menerus tidak berpuasa secara kontiniu hingga orang mengira bahwa beliau tidak akan berpuasa”[4].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam memvariasikan pelaksanaan berbagai ibadah beliau sesuai mashlahat yang ada. Dalilnya sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ
“Merupakan kebiasaan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga orang yang melihat akan mengatakan bahwa beliau senantiasa berpuasa. Dan merupakan kebiasaan beliau juga beliau tidak berpuasa hingga orang yang melihat mengira bahwa beliau tidak akan pernah berpuasa”.
Ketika beliau berada dalam masa senggang dari kesibukan beliau maka beliau bersemangat mengerjakan ibadah puasa hingga orang mengira bahwa beliau senantiasa berpuasa. Namun bila beliau sibuk maka beliau tidak berpuasa. Maka sikap beliau dalam hal ini adalah melihat dan memperhatikan mashlahat dalam ibadahnya (yang tidak wajib –pen)”[5].
Beliau Rohimahullah mengatakan,
“Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kondisi dan amal/kesibukan yang menuntut beliau untuk tidak berpuasa ataupun puasa. Sehingga jika beliau melihat, menilai adanya mashlahat pada melaksanakan puasa maka beliau pun berpuasa. Pun bila beliau melihat ada mashlahat untuk tidak berpuasa beliau pun tidak berpuasa. Maka demikianlah seyogayanya seorang muslim, hendaklah dia memanage atau mengatur dirinya. Jika dia melihat ke depan ada mashlahat pada suatu amalan sholeh maka hendaklah dia beramal sholeh (yang hukumnya tidak wajib –pen) selama itu tidak menyebabkan lalau dari amalan yang wajib. Jika dia merasa mulai lemah, malas pada sebuah amalan (yang hukumnya tidak wajib –pen) maka hendaklah dia melihat amalan sunnah yang lainnya lalu menunaikannya. Sehingga apapun keadaannya dia senantiasa beramal ibadah tanpa terjangkiti rasa malas dan capek dalam beramal”[6].
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,
“Demikianlah seharusnya seorang muslim. Hendaklah dia memilah dan memilih mana waktu yang tepat baginya untuk berpuasa (sunnah –pen) hingga dia tidak luput dari perkara yang amat penting (wajib). Hendaklah dia memilah dan memilih waktunya yang tepat untuk tidak berpuasa (sunnah) hingga dia tidak terlalaikan dari mengerjakan perkara yang wajib dan butuh keseriusan dan kekuatan. Seorang muslim adalah orang yang jiwanya. Dia mampu memilah dan memilih kapan lebih utama baginya untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Karena managemen waktu dan amal yang sesuai dengan aturan syari’at baik dalam masalah fondasi dan tiang-tiangnya. Wajib baginya untuk menghiasi dirinya dan melatihnya untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah Ta’ala hingga ibadah itu akan terasa mudah bagi jiwanya. Lebih lagi dalam pelaksanaan ibadah itu dia mendapatkan ketenangan dan kelezatan dalam bermunajat/ berinteraksi dengan Allah”[7].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,
“Demikianlah hendaknya seorang muslim pada amalan selain yang wajib. Hendaklah dia melihat mana yang lebih cocok baginya dan kaum muslimin lainnya. Sebab agama yang seluruhnya adalah kemashlahatan. Imam Ahmad Rohimahullah pernah ditanya tentang berbagai amal ? Maka beliau menjawab, “Hendaklah dia melihat mana yang mashlahat bagi hatinya lalu hendaklah dia melakukannya”. Jawaban ini hakikatnya adalah kalimat sangat indah, berlaku umum dan sarat manfaat”[8].
Kesimpulan :
- Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam terkadang demikian banyak melakukan puasa dan terkadang demikian sering pula tidak puasa.
- Ketika kita hendak mengamalkan amalan yang statusnya tidak wajib maka hendaklah memperhatikan jangan sampai kewajiban terlalaikan. Sebab inilah petunjuk Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Pun demikian janganlah hal ini menjadi dalih untuk tidak mengamalkan seluruh amalan sunnah. Sebab di sisi lain pun kita dituntut untuk melatih dan mengasah jiwa untuk memperbaiki ibadah dari kuantitas maupun kualitas.
- Ketika melihat orang lain tidak berpuasa sunnah atau amalan sunnah lainnya secara umum, maka hendakalah kita mengedepankan husnudzhon barangkali ada udzur ataupun ada amalan, kesibukkan lain yang wajib dan harus dia tunaikan. Allahu a’lam.
Sigambal Ketika Hujan yang Dinanti turun, 22 Rojab 1440 H / 28 Maret 2019 M.
Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir
[1] HR. Bukhori no. 1904 dan Muslim no. 1151.
[2] HR. Bukhori no. 1969 dan Muslim no. 175 dan 1156.
[3] Lihat Minhatul Alam oleh ‘Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah hal. 90/V terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[4] Lihat Taudhihul Ahkam oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Al Bassam hal. 538/III terbitan Maktabah Asaadi, Mekkah Al Mukarromah, KSA.
[5] Lihat Al Fath Dzil Jalali wal Ikrom oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah hal. 391-392/VII terbitan Madarul Wathon, Riyadh, KSA.
[6] Idem hal. 392/VII.
[7] Lihat Minhatul Alam hal. 90-91/V.
[8] Lihat Al Fath Dzil Jalali wal Ikrom hal. 392-393/VII
Leave a Reply