Ketika Dosa Dianggap Ringan

20 Feb

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Ketika Dosa Dianggap Ringan

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Makin ke belakang, semakin banyak kemaksiatan meraja lela dengan berbagai macam jenisnya dan ragamnya. Kata orang, ‘Seakan urat malu manusia telah putus dari badannya’. Jikalau kita bandingkan dengan masa lampau dimana kita masih kanak-kanak. Rasa-rasanya maksiat di masa ini demikian dahsyatnya. Demikian pula kemunafikan, berbagai macam kemunafikan mulai terlihat jelas. Hal-hal yang jelas-jelas haram dalam dalam Islam, dibela mati-matian oleh orang-orang yang mengaku dirinya muslim bahkan mengaku sebagai cendikiawan. La Hawla wa La Quwwata Illa Billah.

Setidaknya ada 2 akibat dan juga dapat menjadi sebab terbesar yang menjadi penyebab hal ini yaitu hilangnya rasa malu dan menganggap remeh dosa. Adapun sebab yang pertama telah pernah kami sampaikan di sini. Maka pada kesempatan ini akan kita nukilkan penyebab kedua yaitu menganggap remeh dosa-dosa.

Ibnul Qoyyim Rohimahullah (wafat 751 H) mengatakan[1],

“(Diantara dampak buruk maksiat –pen) yaitu lepas dari hati anggapan kehinaan akan dosa dan kemaksiatan. Sehingga maksiat tersebut menjadi hal yang biasa saja baginya. Kemudian hatinya tidak lagi merasa hina, malu atas pandangan dan ucapan buruk semua orang (atas kemaksiatannya yang dikerjakannya terang-terangan -pen).

Bahkan kondisi demikian merupakan puncak kelezatan bagi gembong-gembong kemaksiatan. Sampai sampai salah seorang dari mereka membanggakan dirinya akan kemaksiatan. Menceritakan maksiat yang sudah dia kerjakan. Sehingga dia mengatakan, “Wahai Fulan, aku sudah melakukan maksiat ini dan itu”.

Manusia model ini tidak akan dimaafkan, terhalang baginya jalan menuju taubat, pintu-pintu taubat pun secara umum telah tertutup darinya. Sebagaimana Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

 “Setiap ummatku dimaafkan kecuali mujahirun. Sesungguhnya termasuk bentuk ijhar adalah seorang hamba yang berbuat (maksiat -pen) di malam hari, lalu dia mendapati waktu subuh dimana Allah telah menutupi maksiatnya itu namun dia malah berkata, ‘Wahai Fulan, semalam aku telah berbuat (maksiat ini dan itu -pen)’. Maka dia telah membongkar dirinya sendiri padahal Robb nya telah menutupinya (sebelumnya –pen)”[2].

Ibnul Qoyyim Rohimahullah juga mengatakan[3],

“Diantara dampak buruk maksiat adalah seorang hamba akan terus menerus melakukan berbagai kemaksiatan sehingga maksiat itu terasa kecil/remeh di hatinya dan itu merupakan tanda kehancuran. Kerena sesungguhnya dosa dan maksiat ketika dianggap kecil, remeh di mata seorang hamba maka (dosa-dosa) tersebut akan dinilai besar oleh Allah ‘Azza wa Jalla”.

“Imam Bukhori menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ لَهُ هَكَذَا فَطَارَ

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat, menilai dosa-dosanya layakanya seorang yang sedang berada di kaki gunung yang dia khawatir runtuh menimpa dirinya. Adapun seorang yang fajir, dia menilai dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya. Dia mengatakan ini dan itu hingga terbanglah lalat tersebut”[4].

Ketika hati kita masih menganggap hina dan besar dosa dan serta malu jika kemaksiatan kita dilihat dan dibicarakan orang maka syukurilah. Sebab itu tandanya hati kita masih hidup walaupun masih sakit. Cara terbaik dalam mensyukuri nikmat ini adalah dengan berusaha tidak mengikuti satu kemaksiatan dengan kemaksiatan selanjutnya. Sebab jika tidak kita syukuri sekarang dikhawatirkan kehidupan hati itu akan hilang. Sehingga Allah mencabut rasa malu dan menganggap hina kemaksiatan dari hati hati kita. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

 “Dan (ingatlah juga), tatkala Robb mu memperingatkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku), maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih”. (QS. Ibrohim  [14] : 7)

 

Sigambal, 30 Jumadil Awwal 1439 H / 15 Pebruari  h 2018 M.

 

Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir

[1] Lihat Ad Da’u wa Ad Dawa’u hal. 89-90 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[2] HR. Bukhori no. 5721 dan Muslim no. 2990.

[3] Lihat Ad Da’u wa Ad Dawa’u hal. 91.

[4] HR. Bukhori no. 5949 dan Muslim no.2744.

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply