Berpuasa di Bulan Orang Lalai (Sya’ban)

2 Apr

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Berpuasa di Bulan Orang Lalai (Sya’ban)

Waktu demikian cepat berlalu. Rasa-rasanya baru kemaren kita lulus SMA. Rasa-rasanya baru kemaren kita menikah. Rasa-rasanya baru kemaren kita menimang putra-putri pertama kita. Suka atau tidak suka demikianlah waktu meninggalkan kita. Ketika waktu itu berlalu dan banyak kebaikan yang terluput dari kita maka penyesalan pun tak terbendungkan lagi.

Demikian pula, tak terasa kita akan bertemu kembali dengan Bulan Sya’ban. Bulan dimana Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam demikian memperbanyak puasa padanya. Ibunda kita, ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘anha menuturkan,

وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah melihat Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa selama sebulan penuh selain pada Bulan Romadhon. Akupun tidak pernah melihat beliau demikian banyak berpuasa dalam satu bulan melainkan pada Bulan Sya’ban”[1].

Ash Shon’ani (wafat 1182 H) Rohimahullah mengatakan,

“Hadits (‘Aisyah -pen) ini merupakan dalil bahwasanya beliau berpuasa terkhusus pada bulan Sya’ban lebih banyak dibandingkan bulan lainnya”[2].

Pun demikian pula, bulan ini adalah bulan yang kata Baginda Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam banyak dilalaikan manusia. Usamah bin Zaid Rodhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Aku bertutur kepada Rosulullah, “Wahai Rosulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa selama sebulan (tentu selain Bulan Romadhon) lebih sering dibandingkan pada Bulan Sya’ban”. Beliau menjawab, “Itulah bulan dimana banyak orang melalaikannya yaitu Bulan diantara Rojab dan Romadhon. Dia pun adalah bulan yang diangkat berbagai amalan menuju Robbul ‘Alamin. Sebab itu, aku suka pada saat amalanku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa”[3].

Ash Shon’ani (wafat 1182 H) Rohimahullah juga menukilkan,

“Ada pendapat yang menyebutkan bahwasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban dalam rangka memuliakan bulan Romadhon, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari hadits Anas dan selainnya. Bahwa Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya manakah puasa yang lebih afdhol ?” Lalu beliau menjawab, “Sya’ban karena untuk mengagungkan bulan Romadhon”. At Tirmidzi mengatakan, “Dalam jalur periwayatannya terdapat seorang yang bernama Shodaqotu bin Musa, yang mana dia ini menurut para ulama tidak kuat”[4].

Pentahqiq Subulus Salam, Syaikh Subhi Hasan Kholaaq Hafizhahullah mengatakan, “Hadits tersebut lemah”[5].

Ash Shon’ani Rohimahullah mengatakan terkait alasan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa di Bulan Sya’ban adalah:

[1]. Sebab bulan Sya’ban itu merupakan bulan yang banyak orang lalai memperbanyak ibadah darinya.

[2]. Bulan Sya’ban adalah bulan dimana berbagai amal diangkat kepada Allah Subhanahu wa Ta’al.

[3]. Dalam rangka mengagungkan bulan Romadhon.

Sama-sama memiliki kemungkinan yang benar. Lalu beliau menyebutkan menyimpulkan bahwa puasa yang paling utama setelah bulan Romadhon adalah puasa di bulan Harom. Diantara bulan Harom yang paling utama berpuasa padanya adalah Bulan Muharrom. Sedangkan bulan selain Romadhon dan Muharrom maka puasa yang paling utama padanya adalah Bulan Sya’ban. (demikian kutipan secara bebas dari perkataan beliau)[6].

Namun pendapat yang paling selamat insya Allah adalah pendapat yang bersandarkan pada hadits yang hasan. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sebab bulan itu adalah bulan yang kebanyakan manusia lalai beribadah darinya dan di bulan itu berbagai amalan diangkat kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala. Allahu a’lam.

Pun demikian pendapat Ash Shon’ani Rohimahullah bukanlah pendapat yang salah sebab sebagaimana kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah,

“Seandainya ada yang berpendapat, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa karena alasan ini dan selainnya yang kita tidak mengatahuinya tentu pendapat ini pun punya sisi benar. Sebab banyaknya sebab bukan suatu yang terlarang. Bahkan itu dapat menambah kekuatan hukum sesuatu[7].

Ibnu Rojab Al Hambali (wafat Tahun 795 H) Rohimahullah mengatakan,

Puasa yang paling utama adalah puasa yang tidak merusak badan sehingga orang tersebut lemah dalam perkara yang lebih afdhol baginya. Semisal menunaikan hak Allah (lainnya yang lebih wajib), hak-hak hamba Allah yang masih dalam tanggungannya. Jika dengan berpuasa dia menjadi lemah dalam menunaikan hak-hak tersebut maka tidak berpuasa lebih baik/utama baginya”[8].

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Al Bassam Rohimahullah mengatakan,

“Pada hadits ini (Hadits ‘Aisyah –pen) terdapat dalil bahwasanya beliau Shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk berpuasa. Maka seorang muslim sudah sepantasnya memperhatikan mashlahat dalam ibadahnya (yang sunnah –pen). Hendaklah dia mengedepankan ibadah yang lebih utama dibandingkan ibadah lainnya dan mengedepankan hal-hal terkait kemashlahatan yang bersifat luas/umum. Sehingga dia tidak lupa dari selain ibadah. Oleh karena itu hendaklah dia membagi dan mengatur amalannya sesuai dengan ditekankan oleh aturan syariat yang mulia”[9].

 Kesimpulannya :

Mari memperbanyak ibadah puasa di Bulan Sya’ban selama itu tidak menyebabkan kita menjadi kurang dalam menunaikan kewajiban yang lebih wajib bagi kita masing-masing. Misalnya mencari nafkah untuk orang-orang yang nafkahnya kita tanggung.

Sigambal Ketika Hujan yang Dinanti turun, 22 Rojab 1440 H / 28 Maret 2019M.

Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir

[1] HR. Bukhori no. 1969 dan Muslim no. 175 dan 1156.

[2] Lihat Subulus Salam oleh Ash Shon’ani Rohimahullah hal. 129/IV terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[3] HR. An Nasa’i no. 2357. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Al Albani Rohimahullah.

[4] Idem hal. 130/IV.

[5] Idem.

[6] Idem.

[7] Lihat Al Fath Dzil Jalali wal Ikrom oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah hal. 391/VII terbitan Madarul Wathon, Riyadh, KSA

[8] Lihat Lathoif Ma’arif hal. 224 terbitan Al Maktab Al Islami, Beirut, Lebanon.

[9] Lihat Taudhihul Ahkam oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Al Bassam hal. 539/III terbitan Maktabah Asaadi, Mekkah Al Mukarromah, KSA.

Tulisan Terkait

Leave a Reply