17 Aug
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Belumkah Bersemangat Di 10 Awal Dzulhijjah ?
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Tak pelak lagi, setiap orang yang berakal tentu ingin mendapatkan sesuatu yang terbaik walaupun seringnya dengan harga yang suangat mahal. Bahkan sebagian rela merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mendapatkan limited edition atau malah cuma ada satu di penjuru dunia.
Namun begitulah kita manusia yang lemah iman ini, gilirian dikasih kabar Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwa 10 hari awal bulan Dzulhijjah ini merupakan hari-hari spesial di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, malah kayaknya gak yakin atau malah merasa gak punya urusan untuk itu. Padahal kabar itu sangat jelas dan tegas.
عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ أيَّامٍ ، العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الأَيَّام – يعني أيام العشر . قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، وَلاَ الجِهَادُ في سَبيلِ اللهِ ؟ قَالَ : وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ.
Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwasanya Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidak ada hari dimana amal sholeh ketika itu lebih dicintai Allah dibandingkan hari-hari ini (yaitu hari yang 10)”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rosulullah tidak juga lebih dicintai dibandingkan jihad di jalan Allah ?” Beliau menjawab, “Ya, tidak juga dengan jihad di Jalan Allah, kecuali laki-laki yang berjihad dengan jiwa dan hartanya namun dia tidak kembali dengan sedikitpun darinya (mati syahid di medan jihad -pen)”[1].
Dalam riwayat lain disebutkan,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
Dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih agung di Sisi Allah dan lebih Dia cintai amal pada hari-hari yang sepuluh itu. Maka hendaklah mereka memperbanyak Tahlil (Laa Ilaaha Illallah), Takbir (Allahu Akbar) dan Tahmid (Alhamdulillah) pada hari-hari itu”[2].
Dalilnya masih ada lagi namun kita cukupkan sampai di sini dulu. Kesimpulan kami merujuk dari penjelasan para ulama bahwa amal sholeh ketika itu yaitu amal sholeh apapun, boleh puasa, sholat, dan lain-lain.
Masalahnya terkadang, bukan dalil yang kurang tegas, bukan hujjah tak pernah dibaca. Namun masalahnya ada pada ketergugahan hati ketika mendengar sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Ibnu Rojab Al Hambali Rohimahullah (wafat Tahun 759 H) membahas lumayan panjang masalah keutamaan 10 hari Bulan Dzulhijjah dalam Lathoif Al Ma’arif. Yang unik dan menggugah kami potongan kalimat beliau Rohimahullah berikut menutup pembahasan beliau (walaupun terjemahan kami masih jauh dari kandungan makna kalimat beliau).
“Ghonimah, ghonimah (harta rampasan perang yang berlimpah) dengan tibanya kesempatan besar pada hari yang agung ini…
Hari-hari yang tidak tergantikan dan ternilai harganya…
Bersegeralah, bersegeralah wahai orang yang ingin bersegera dengan beramal…
Bersegeralah, bersegeralah sebelum datangnya ajal…
Sebelum orang-orang yang melalaikannya menyesali kelalaian yang sudah dia perbuat…..
Sebelum adanya permintaan yang tak terkabulkan untuk dikembalikan ke dunia dalam rangka beramal keta’atan………..
Sebelum maut menghampiri orang yang hanya berangan-angan belaka di antara puncak angan-angan semata……….
Sebelum seseorang tertawan atas apa yang telah dia perbuat sebelumnya.…………”[3].
Jangan sampai ghonimah itu hilang, setelah sebelumnya teronggok di pelupuk mata kita.
Sigambal, sebelum tidur di malam kemerdekaan,
5 Dzul Hijjah 1439 H, 17 Agustus 2018 M
Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir
[1] HR. Bukhori no. 976, Abu Dawud no. 2438, Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727.
[2] HR. Ahmad no. 6154 dan dinyatakan shohih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth Rohimahullah.
[3] Lihat Lathoif Al Ma’arif dengan tahqiq Syaikh Thoriq bin ‘Iwadhallah hal. 477 terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon.
Leave a Reply