Syarat Laa Ilaha Illallahu dan Dalilnya (1)

9 Aug

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Syarat  Laa Ilaha Illallahu dan Dalilnya  (1)

Manusia Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan di muka bumi ini dengan tujuan untuk menegakkan kalimat Allah yaitu Laa Ilaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ), yang realisasi dari kalimat ini adalah tauhid kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh[1] manusia melainkan untuk mentauhidkanKu[2]“. (QS : Adz Dzariyat [51] :56).

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus pada Nabi dan para Rosul adalah untuk mengajarkan kepada manusia kepada pentauhidan kepada Allah, hal ini sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Tidaklah kami mengutus seorang Rosul/utusan sebelummu kecuali kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku (Allah) maka bertauhidlah pada Ku (Allah)[3]”. (QS : Al Anbiya’  [21] : 25).

Cukuplah dua ayat di atas untuk menjelaskan kepada kita betapa mulia dan agungnya mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla. Namun sayang, tidak sedikit diantara orang di sekililing kita yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak paham makna dan konsekwensi dari kalimat ini. Untuk itulah kami akan uraikan secara ringkas tentang syarat kalimat tauhid[4] dan dalil-dalilnya dari kitab para ulama’ namun secara ringkas.

Pengertian Syarat

Syarat dalam istilah fiqih berarti sesuatu yang tidak akan sempurna (sah pent.) suatu yang disyaratkan kecuali dengannya[5]. Agar lebih memudahkan pemahaman kita ambil contoh ibadah sholat, ibadah ini tidaklah akan dinilai sebagai sholat yang sah apabila syaratnya tidak terpenuhi yaitu wudhu. Sehingga apabila seseorang melakukan ibadah sholat tanpa berwudhu maka sholatnya tidaklah sah bahkan ia berdosa apabila nekat sholat tanpa wudhu dalam keadaan ia tahu bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[6].

Sebelum kita masuk kepada pembahasan selanjutnya, perlu kami sampaikan bahwasanya syarat-syarat yang akan kami sebutkan berikut ini yang terpenting adalah pengamalannya, sehingga mungkin saja ada seseorang yang tidak hafal syarat-syarat ini namun ia telah mengamalkan seluruhnya maka sudah cukup baginya, Allahu a’lam.

Kemudian jika hal di atas kita pahami, mungkin diantara kita ada yang bertanya dari mana penetapan syarat Laa Illaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) ini ? Maka jawabnya adalah hal ini ditetapkan dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan metode istiqro’ dan tatabbu’ (penulusuran). Hal ini bukanlah merupakan bid’ah sebagaimana para ulama’ ijma’ bahwa pada ibadah sholat ada syarat dan rukunnya[7]. Dan kami tambahkan karena maksud dari penetapan 7 syarat ini adalah untuk memudahkan bagi kaum muslimin untuk memahaminya sehingga sebagaimana kami singgung di atas, yang terpenting dalam hal ini adalah pengamalan terhadap seluruh syaratnya dan bukanlah pembagiannya. Allahu a’lam.

Syarat Pertama, Al Ilmu (Mengetahui Maknanya)

Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang menghilangkan kebodohan, dan secara istilah ilmu adalah mengetahui sesuatu secara pasti sebagaimana keadaan yang sebenarnya[8] (sesuai dengan dalilnya)[9].

Kemudian, makna Laa Illaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) adalah Laa Ma’buda bi Haqqin Illallahu (لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلَّا اللهُ) yang berarti tidak ada sesembahan (seluruhnya) yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah tafsir yang benar dari kalimat tauhid, tidak sebagaimana anggapan sebagian orang, atau anggapan yang telah ditanamkan kepada kita sejak kecil yaitu tidak ada Pencipta dan Pemberi Rizki kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau tidak ada Dzat yang menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ketahuilah makna ini adalah makna yang sangat jauh dari makna yang dikehendaki oleh Allah ‘azza wa jalla dan RosulNya shallallahu ‘alaihi was sallam, lihatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah (kepada mereka yang berbuat kemusyirikan kepada Allah) siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan dan menguasai) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah.” Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?”. (QS : Yunus [10]  : 31).

Berdasarkan ayat di atas dan ayat-ayat yang lainnya[10] kita dapat mengetahui bathilnya penafsiran kalimat Laa Illaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) dengan tafsiran tidak ada Pencipta dan Pemberi Rizki kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau tidak ada Dzat yang menghidupkan dan mematikan kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian juga betapa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam telah memberitahukan kepada kita melalui hadits-haditsnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh al Imam Muslim dalam kitab Shohihnya,

مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ

“Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah dan kufur/mengingkari terhadap seluruh ibadah kepada selain Allah (maka) darahnya dan hartanya haram (terlindungi) sedangkan hisabnya (perhitungan amalmya) di sisi Allah”[11].

Pada hadits yang mulia ini Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam jelas mengaitkan adanya keterlindungan jiwa dan harta dengan 2 hal yaitu,

[1.]   Dengan mengucapkan kalimat (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ)

[2.]  Dengan mengingkari (baik dengan secara lahir dan bathin pent.) seluruh  bentuk peribadatan kepada selain Allah.

Jika dua hal ini telah terealisasi maka harta dan jiwanya terlindungi karena ia telah menjadi seorang muslim[12] dan seorang muslim harta dan jiwanya terlindungi[13].

Berdasarkan tafsir di atas jelaslah bagi kita bahwa inti yang dimaksudkan dari kalimat Laa Illaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) yang dimaksudkan adalah mentauhidkan Allah dalam masalah peribadatan atau yang disebut para ulama dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ath tholab wal qoshdu[14].

Demikian juga berdasarkan penafsiran di atas, maka pada kalimat tauhid Laa Illaha Illallah harus ada dua rukun yaitu,

[1.]   An Nafyu yaitu peniadaan terhadap seluruh sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, rukun ini terdapat pada potongan kalimat Laa Illaha (لَا إِلَهَ).

[2.]  Al Itsbat yaitu penetapan seluruh jenis ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, rukun ini terdapat pada potongan kalimat Illallah (إِلَّا اللهُ).

Sehingga belumlah dikatakan seseorang yang melaksanakan salah satu rukun di atas berupa peniadaan saja tanpa penetapan, demikian pula penetapan saja tanpa peniadaan hingga ia benar-benar melaksanakan keduanya yaitu peniadaan dan penetapan.

Kebalikan dari syarat yang pertama ini adalah kejahihan/kebodohan. Kebodohan ini jika ditinjau dari objeknya ada dua macam,

[1.]   Al Jahlul Basith (kebohan murni) yaitu ketidakadaan ilmu secara menyeluruh, semisal jika ada yang bertanya, “Apakah Sujud Syahwi itu dilakukan sebelum salam atau setelah salam ?” Kemudian orang yang ditanya menjawab, “Saya tidak tahu”.

[2.]  Al Jahlul Murokkab (kebodohan yang berpangkat dua) yaitu ilmu/pengetahuan yang tidak sesuai dengan kebenaran, semisal jika ada yang bertanya, “Kapan perang badar terjadi ?” Kemudian orang yang ditanya menjawab, “Pada tahun 3 Hijriyah”[15]. Maka orang yang demikian adalah memiliki dua kebodohan, bodoh kalau ia tidak tahu/jahil dan menjawab dengan jawaban yang salah padahal ia tidak tahu karena orang yang tidak tahu harusnya menjawab saya tidak tahu.

Adapun jika ditinjau dari subyeknya maka kebodohan dibagi menjadi dua,

[1.]   Al Jahlu Ma’dzur (kebodohan yang diberi udzur) yaitu kebodohan/ketidaktahuan yang benar-benar murni kebodohan, kebodohan jenis ini semisal seorang muslim yang menjadi muslim semata-mata karena ibu dan bapaknya muslim, yang dia hidup di suatu negri kafir dengan lingkungan dimana orang kafir dan orang islam di negri tersebut meminum khomr dan dia tidak memiliki alat untuk mengetahui hukum hal tersebut sehingga dia tidak tahu khomr itu haram.

[2.]  Al Jahlu I’rod (kebodohan karena enggan ) yaitu kebodohan/ketidaktahuan yang disebabkan pelakunya tidak mau cari tahu padahal sarana untuk tahu ada disekitarnya namun ia tidak mau memanfaatkannya. Semisal seorang yang mengaku muslim, tinggal di negri muslim dengan lingkungan dimana sholat jama’ah ditegakkan, ilmu agama tersebar namun ia tidak mau sholat dan mengatakan sholat tidak wajib[16]. Kebodohan yang demikian bukanlah merupakan udzur bagi pemiliknya. Allahu a’lam.

Adapun dalil penetapan syarat pertama ini adalah firman Allah Tabaroka wa Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Ketahuilah/ilmuilah bahwasanya Laa Ilaha Illalah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ)”.(QS : Muhamad [47]  : 19).

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (اعْلَمْ) merupakan bentuk kata perintah/fi’il amr dari kata (العِلْمُ) yaitu perintah untuk menjadi orang yang memahami perkataan setelahnya yaitu kalimat Laa Illaha Illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) yaitu tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah yang tidak ada sekutu/serikat baginya.

Sisi pendalilannya adalah pada firman Allah Subahanahu wa Ta’ala (اعْلَمْ), potongan ayat ini menunjukkan bahwasanya ilmu didahulukan dari perkataan, dan merupakan sebuah hal yang telah dipahami bersama suatu yang lebih penting didahulukan dari perkara yang nilai pentingnya berada di bawahnya. Sehingga tidaklah sah perkataan dan amal perbuatan kecuali setelah adanya ilmu karena ilmu merupakan suatu yang membenarkan niat dan membenarkan amal[17].

Dalil lainnya adalah firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,

إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Kecuali yang bersaksi terhadap Laa Ilaha Illalah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ)[18] dan mereka mengetahuinya”.(QS : Zukhruf [47]  : 86).

Imam para ahli tafsir Ibnu Jarir Ath Thobariy rohimahullah menafsirkan firman Allah Subahanahu wa Ta’ala (شَهِدَ بِالْحَقِّ) dengan mengikrarkan tauhid kepada Allah, yaitu kecuali orang yang beriman kepada Allah dan mereka mengetahui hakikat tauhid kepada Allah[19].

Sisi pendalilannya adalah pada potongan firman Allah Subahanahu wa Ta’ala, (وَهُمْ يَعْلَمُونَ), Allah Subahanahu wa Ta’ala mempersyaratkan ilmu mereka terhadap syahadat yang mereka ikarkan, hal ini karena persaksian/syahadat terhadap sesuatu tidaklah sah/terangggap kecuali setelah berilmu tentang hal yang akan dipersaksikan. Jika demikian maka bagaimanakah dengan syahadat yang demikian agung ini ?! Apakah mungkin engkau menjadi orang yang menyembah Allah atau menjadi orang yang beribadah -yang ia merupakan hak Allah atas kita- kepada Allah jika tidak dengan ilmu sebelum berucap dan beramal ??!

Allahu a‘lam, demikian akhir pembahasan syarat yang pertama, insya Allah akan dilanjutkan pembahasan syarat kedua beserta dalilnya. Mudah-mudahan Allah mudahkan untuk menyelesaikannya.

Ba’da Isya’ 27 Sya’ban 1431 H/ 8 Agustus 2010 M,

Aditya Budiman

[Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya, dosa kedua orang tuanya dan dosa kaum muslimin]


[1] Kami terjemahkan menggunakan kata seluruh karena sesuai kaidah tafsir yang disebutkan para ulama, lihat penjelasannya di www.alhijroh.com dengan judul Kaidah Ketiga Huruf Alif dan Lam yang Masuk pada Isim Sifat, Isim Jenis Memberikan Faidah Keumuman Sesuai Kata yang Dimasukinya.

[2] Hal ini sebagaimana yang ditafsirkan para ulama lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 38.

[3] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrohman Al Mubarokfuri hafidzahullah hal. 335 Terbitan Darus Salam, Riyadh, KSA

[4] 7 Syarat kalimat tauhid ini disebutkan dalam satu kesempatan oleh Syaikh Abdurrohman bin hasan Alu Syaikh rohimahullah dalam kitabnya Fathul Majid. [lihat Fathul Majid oleh Syaikh Abdurrohman bin hasan Alu Syaikh rohimahullah hal. 103, dengan tahqiq Syaikh Muhammad Hamiid Faqhiy dan ta’liq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rohimahull, terbitan Dar Ibnu Ashoshoh, Beirut, Lebanon]

[5] Lihat Al Mu’jamul Wasith oleh Ibrohim Al Musthofa, Ahmad Az Ziyat, Abdul Qodir, Muhammad An Najar hal. 994/I, dengan tahqiq dari Mu’jamul Lughotil ‘Arobiyah, Asy Syamilah.

[6] Lihat tulisan kami yang berjudul Syarat Diterimanya Ibadah di www.alhijroh.com.

[7] Lihat At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 33, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh. Hal yang semisal juga dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah, lihat tulisan kami yang berjudul “Mentauhidkan Allah Tetapi Musyrik” di www.alhijroh.com.

[8] Lihat Al Ushul min ‘Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 14, terbitan Darul Aqidah, Mesir.

[9] Yang berada di dalam kurung kami tambahkan dari At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 33.

[10] Lihat tulisan kami di www.alhijroh.com yang berjudul “Mentauhidkan Allah tetapi Musyrik” pada sub bahasan Tauhid yang Menjadi Titik Bentrok Antara Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan Orang-orang Kafir Quroisy.

[11] HR. Muslim no. 23.

[12] Artinya telah sah syahadat Laa Illaha Illallah-nya. Allahu A’lam.

[13] Lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah hal. 177/I terbitan Darul Ashimah, Riyadh, KSA. Pembahasan mengenai hadits ini telah kami ulas secara ringkas dalam tulisan kami di www.alhijroh.com yang berjudul “Bukan Sekedar Ucapan” silakan merujuk kepadanya.

[14] Semisal Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qoyyim rohimahumallah .Lihat Taisirul ‘Azizil Hamiid fi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sulaiman bin Abdullah, hal. 17, dengan tahqiq oleh Syaikh Zuhair Asy Syawis, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon.

[15] Lihat Syarh Ushul min ‘Ilmil Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 70-71, terbitan Al Kitab Al ‘Alimiy, Beirut, Lebanon- dengan diringkas dan diubah gaya bahasa-.

[16] Faidah ini kami dapatkan dari perkataan guru kami Ustadz Aris Munandar hafidzahullah ketika mengkaji kitab Tahzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah, dengan perubahan redaksi dan penyesuaian contoh dari kami.

[17] Lihat At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 42.

[18] Lihat Tafsir Jalalain hal. 506.

[19] Lihat Jami’ul Bayan fi Takwilil Qur’an oleh Muhammad bin Jarir Ath Thobari rohimahullah dengan tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 655/XXI, Terbitan Mu’asaash Risalah Beirut, Lebanon.

Tulisan Terkait

2 Comments ( ikut berdiskusi? )

  1. achmadhamid
    Dec 23, 2010 @ 12:26:08

    mohon izin mentransfer ke FB

    Reply

Leave a Reply