28 Dec
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Syarat Laa Ilaaha Illallah (7) End
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah. Melanjutkan potingan sebelumnya seputar syarat kalimat tauhid, Laa Ilaaha Illallah. Syarat ketujuh adalah menerima yang meniadakan penolakan. Syaikh Ibrohim Al Khuroisy Hafizhahullah mengatakan[1], “Ketujuh : Menerima yang menidakan penolakan. Maksudnya : Syarat ketujuh menerima yang meniadakan penolakan. Seseorang harus menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisannya. Siapa yang tidak menerimanya bahkan menolaknya karena menyombongkan diri, tidak butuh dengannya maka dia kafir. Demikianlah orang kafir Quroisy menolak kalimat ini karena sombong dan enggan menerimanya. Allah Subhana wa Ta’ala telah mengisahkan kabar-kabar kepada kita dalam Kitab Nya tentang orang yang telah lalu. Dia menyelamatkan orang-orang yang mau menerima kalimat tauhid ini dan Dia binasakan orang-orang yang menolak dan mengabaikannya. Demikian juga Allah pun mengabarkan kepada kita tentang janji ganjaran/pahala kepada orang-orang yang mau menerima kalimat ini dan ancaman adzab bagi orang yang menolaknya. Ayat-ayat tentang hal tersebut banyak sekali dan sudah diketahui bersama. Kabar ini disebutkan secara khusus ketika penyebutan kisah para Nabi ‘alaihimusssalam apa yang ummat mereka dapatkan ketika mereka mau menerimanya atau menolaknya berserta balasan yang sesuai. Robb mu tidaklah zholim dengan para hamba Nya”. “Maksudnya : Menerima merupakan sebuah syarat dari syarat-syarat kalimat Laa Ilaaha Illallah yang tujuh. Dimana tidak akan sah kalimat syahadat ini kecuali terkumpul semua syaratnya”. Adapun dalil syarat ini diantaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
كَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun kepada suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati orang-orang tua kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rosul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati orang-orang tuamu menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya”. Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Az Zukhruf [43] : 23-25).
Syaikh Ibrohim Al Khuroisy Hafizhahullah mengatakan[2], “Allah Subhana wa Ta’ala mengabarkan kepada kita pada beberapa ayat ini tentang keadaan ummat yang telah lalu dari kalangan orang-orang yang mendustakan para rosul dan enggan menerima kebenaran dari mereka. Bahkan kaumnya sombong, mencegah dirinya dari hidayah serta berasalan dengan alasan yang terlaknat dan lemah. Yaitu mengikuti ajaran, agama, kepercayaan orang-orang tua mereka yang telah lalu tanpa dalil dan alasan yang kuat. Walaupun para rosul telah datang kepada mereka dengan membawa dalil-dalil yang tegas, jelas dan pasti. Para rosul ini pun telah mengajarkan, menyakinkan kaumnya akan benarnya agama yang mereka bawa namun umatnya tidak menerima mereka sebab buruknya tujuan mereka, kesombongan mereka terhadap kebenaran dan orang-orang yang membawanya. Sehingga balasan bagi mereka adalah hukuman Allah Ta’ala berupa berbagai adzab di dunia sebelum nanti juga di akhirat”. Dalil lainnya dari Al Qur’an adalah Firman Allah Subhana wa Ta’ala,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (35) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila ?”. (QS. Ash Shoffat [37] : 35-36).
Beliau juga mengatakan[3], “Firman Allah Ta’ala (إِنَّهُمْ) ‘Sesungguhnya mereka’ kata ganti mereka disini maksudnya adalah orang-orang kafir penduduk neraka yang telah berlalu ayat-ayat tentang keadaan mereka. Firman Allah Ta’ala (كَانُوا) ‘dahulu’ maksudnya di dunia. Firman Allah Ta’ala (إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ) ‘apabila dikatakan kepada mereka, “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri’ yaitu menyombongkan diri dari mengucapkannya sebagaimana orang-orang mukmin mengucapkannya. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Mereka mengucapkan (أَئِنَّا لَتَارِكُوا آَلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ) ‘Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila ?’ yaitu apakah kami akan meninggalkan penyembahan terhadap sesembahan kami dan orang-orang tua kami hanya karena ucapan seorang penyihir gila ini ?! Yang mereka maksudkan adalah orang yang jujur dan ucapannya dibenarkan yaitu Rosululllah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka Allah Ta’ala pun membantah dusta mereka dengan Firman Nya,
بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rosul-rosul (sebelumnya)”. (QS. Ash Shoffat [37] : 37).
Beliau juga mengatakan[4], “Perbedaan antara menerima dengan inqiyaad (syarat keenam) adalah menerima lebih bersifat umum dibandingkan inqiyaad (melaksanakan hak-hak kalimat tauhid -pen). Sebab setiap orang yang inqiyaad pasti menerima dan tidak sebaliknya. Atau dengan kata lain inqiyaad adalah menerima dan mengikuti dengan perbuatan sedangkan menerima adalah menampakkan penerimaan tersebut dengan ucapan (hati maupun lisan –pen). Konsekwensi dari keduanya adalah mengikuti (ajaran Rosul –pen). Sehingga ringkasnya menerima dahulu sebelum inqiyaad sebab tidak sah inqiyaad tanpa menerima dahulu. Jika dia menerima maka wajib baginya melaksanakan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan penerimaannya atas kalimat tauhid tersebut”. Setelah Subuh, 20 Robi’ul Awwal 1438 H | 20 Desember 2016 M Aditya Budiman bin Usman [1] At Tanbihaat Al Mukhtashoroh hal. 39 terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA [2] Idem hal. 59. [3] Idem hal. 59-60. [4] Idem hal. 59.
Leave a Reply