26 Nov
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Syarat Laa Ilaaha Illallah (5)
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Melanjutkan seri postingan sebelumnya.
Syarat kelima dari kalimat Laa Ilaaha Illallah adalah Cinta.
Syaikh Ibrohim Al Khuroisy Hafizhahullah mengatakan[1],
“Kelima : Kecintaan terhadap kalimat tauhid, dengan sesuatu yang menunjukkannya serta senang dengan hal tersebut.
Maksudnya : syarat kelima adalah kecintaan terhadap kalimat tauhid dan kebalikannya adalah benci.
Cinta merupakan sebuah perkara yang besar dan pembicaraan tentangnya pun luas. Bahkan ibadah dibangun di atas dasar 3 pondasi utama ini yaitu takut, harap dan cinta”.
“Cinta dibagi menjadi dua bagian yaitu cinta yang wajib dan cinta yang dianjurkan.
Cinta yang wajib adalah cinta yang tidak teranggap seorang muslim kecuali harus memilikinya. Cinta yang wajib tersebut adalah cinta yang menuntut untuk melakukan berbagai kewajiban dan konsekwensi darinya serta meninggalkan apa yang diharamkan. Jika seluruh kecintaan tersebut hilang atau sekadar yang tidak memasukkan seseorang ke dalam Islam kecuali kecuali dengannya maka dia bukanlah seorang muslim. Jika dia lalai dari hal-hal yang wajib maka sekadar itulah imannya pun berkurang”.
“Kecintaan mustahab yaitu kecintaan yang membutuhkan pelaksanaan sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan.
Jadi sudah seharusnya seseorang cinta terhadap kalimat tauhid dan kepada perkara yang menunjukkan hal tersebut berupa perintah dan lain sebagainya. Serta seorang (muslim -pen) pun harus senang dan gembira atas kalimat tauhid”.
“Poros cinta (terhadap kalimat tauhid –pen) adalah ittiba’ / mengikuti Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imron [3] : 31).
“Orang-orang terdahulu pernah berucap,
Engkau bermaksiat kepada Allah
namun engkau mengaku mencintai Nya
Sungguh ini qiyas yang keji
Seandainya cintamu jujur tentulah engkau akan menta’atinya
Sesungguhnya pencinta adalah orang yang ta’at kepada yang dicintainya
Intinya cinta merupakan salah satu syarat Laa Ilaaha Illallah. Jika syaratnya tidak terpenuhi maka hal yang merupakan konsekwensi syarat dianggap tidak ada”.
Adapun dalil syarat ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”. (QS. Al Baqoroh [2] : 165).
Syaikh Ibrohim Al Khuroisy Hafizhahullah mengatakan[2],
“Maksudnya dalil yang menunjukkan bahwasanya kecintaan merupakan salah satu syarat Laa Ilaaha Illallah adalah firman Allah Ta’ala (وَمِنَ النَّاسِ). Pada ayat ini Allah menyebutkan keadaan/kondisi kaum musyrikin di dunia dan tempat kembali mereka di akhirat. Mereka menjadikan untuk Allah tandingan/serikat. Mereka menyembah Allah dan selain Nya. Mereka mencintai selain Allah tersebut sebagaimana mereka mencintai Nya. Padahal Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Dia tidak memiliki tandingan dan sekutu. Maka jadilah orang-orang musyrik teranggap kafir sebab mereka menyamakan Sang Pencipta dengan makhluk dalam hal kecintaan yang berkonsekwensi pada pengagungan. (وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ) ‘Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah’. Sebab kecintaan dan pengetahuan mereka (orang yang beriman) sempurna kepada Allah. Demikian pula pemuliaan mereka kepada Nya tidak ada sekutu bagi Nya sedikitpun. Bahkan mereka hanya menyembah, bertawakkal dan memohon pertolongan hanya kepada Allah semata terhadap seluruh urusan mereka”.
Setelah ‘Ashar, 12 Shofar 1438 H | 12 Nopember 2016 M
Aditya Budiman bin Usman
[1] At Tanbihaat Al Mukhtashoroh hal. 37-38 terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA
[2] Idem hal. 52.
Leave a Reply