Penimbangan Amal

7 Jan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Penimbangan Amal

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Diantara keyakinan dan aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah adanya mizan atau timbangan amal.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,

الموازين جمع ميزان، وهو لغة: ما تقدر به الأشياء خفة وثقلاً.

وشرعاً: ما يضعه الله يوم القيامة لوزن أعمال العباد.

وقد دل عليه الكتاب، والسنة، وإجماع السلف.

“(الموازين) Timbangan-timbangan merupakan bentuk jama’ dari kata (ميزان) timbangan. (ميزان) secara bahasa berarti sesuatu yang digunakan untuk memperkirakan/mengukur ringan atau beratnya sesuatu. Sedangkan secara istilah dalam syari’at (ميزان) adalah sesuatu yang Allah letakkan pada hari qiyamat untuk menimbang amal manusia. Keyakinan/aqidah adanya timbangan amal ini telah ditunjukkan berdasarkan dalil Al Qur’an, Hadits dan Ijma’ para salaf[1].

Diantara dalil yang munjukkan akan hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Maka barangsiapa yang beramal seberat zarrohpun berupa kebaikan pasti dia akan melihat ganjarannya. Dan barangsiapa yang beramal keburukan seberat zarrohpun pasti dia akan melihat balasannya”. [QS. Al Zalzalah (99) : 7-8].

(Lihat Tafsirnya di sini)

Dalil lainnya adalah Firman Allah Tabaroka wa Ta’ala,

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (6) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (7) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ (8) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah”. [QS. Al Qori’ah (101) : 6-9].

 

Dalil dari Hadits Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang ringan diucapkan lisan namun berat di timbangan amal dan dicintai oleh Ar Rohman (Allah) yaitu (سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ) Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Nya, (سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ) Maha Suci Allah Yang Maha Agung”[2].

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,

Penimbangan amal 1

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah yang ditimbang di hari qiyamat.

Pertama, yang ditimbang adalah amal.

Kedua, yang ditimbang adalah catatan/kitab amal.

Ketiga, yang ditimbang adalah pemilik amal itu sendiri[3].

 

Setiap pendapat di atas memiliki dalil. Adapun dalil dari pendapat pertama adalah Al Qur’an Surat Al Zalzalah ayat 7 dan 8 serta hadits Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam di atas.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah juga mengatakan,

Penimbangan amal 2

 

“Namun yang menjadi ganjalan pendapat pertama ini adalah sesungguhnya amal merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga dimungkinkan untuk diletakan di atas timbangan. Bahkan amal tersebut pun sudah selesai dikerjakan. Maka ganjalan ini dapat dijawab dengan sua jawaban.

Pertama, Wajib bagi setiap orang untuk membenarkan sesuatu yang Allah Ta’ala dan Rosulullah Shollalahu ‘alaihi wa Sallam khabarkan berupa perkara-perkara yang ghoib. Walaupun akal kita tidak dapat mencernanya, merasa dan mengatakan, ‘bagaimana hal ini bisa demikian ?’ Maka wajib bagi kita untuk membenarkannya karena kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla melebihi apa yang kita bayangkan. Maka wajib bagi setiap muslim untuk menerima dan tundu serta tidak mengatakan bagaimana. Karena perkara-perkara ghaib di luar apa yang dia bayangkan.

Penimbangan amal 3

Kedua, sesungguhnya Allah Ta’ala akan menjadikan amal ini dalam bentuk yang konkrit, yang dapat diletakkan di atas timbangan sehingga dapat ditentukan berat dan ringanya. Allah Ta’ala mampu untuk menjadikan sesuatu yang abstak menjadi sesuatu yang konkrit. Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam tentang kematian yang akan didatangkan dalam bentuk kibasy/kambing yang diletakkan diantara surga dan neraka. Kemudian dikatakan, ‘Wahai penduduk surga’ merekapun menoleh. Kemudian dikatakan, ‘Wahai penduduk neraka’ maka merekapun menoleh. Kemudian dikatakan kepada mereka, ‘Apakah kalian mengenal ini ?’ Mereka mengatakan, ‘Ya, ini adalah kematian’. Padahal kematian telah dibentuk dalam rupa kibasy/kambing. Padahal kematian secara makna merupakan sebuah benda absrtak. Namun Allah Ta’ala menjadikannya dalam bentuk benda konkrit pada hari qiyamat. Sehingga penduduk surga dan neraka mampu mengatakan, ‘Itu adalah kematian’. Lalu kematian dalam bentuk kibasy/kambing tersebut disembelih di hadapan mereka dan dikatakan,

يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ

‘Wahai penduduk surga kekallah kalian dan tidak ada lagi kematian’, ‘Wahai penduduk neraka kekallah kalian dan tidak ada lagi kematian’[4].

Dengan ini maka hilanglah ganjalan yang terdapat pada pendapat ini”[5].

Beliau Rohimahullah melanjutkan,

Penimbangan amal 4

“Adapun ulama yang berpendapat bahwa yang ditimbang adalah catatan/buku amal, mereka berdalil dengan hadits seseorang yang memiliki kartu catatan amal/bithoqoh yang besar/banyak yang didatangkan kelak kepadanya pada hari qiyamat. Kemudian dikatakan padanya, ‘Lihatlah amal perbuatannmu’ lalu dibukakan padanya catatan amal perbuatan buruknya demikian banyak sekali. Ketika dia melihatnya maka dia menilai bahwa dia akan binasa. Lalu kemudian didatangkan kepadanya kartu catatan amal/bithoqoh yang kecil pada kartu tersebut terdapat kalimat Laa Ilaaha Illallah. Kemudian dia bertanya, ‘Wahai Robbku apa kartu catataan ini ?’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan dizholimi sedikitpun’. Kemudian kartu catatan amal yang kecil/bithoqoh tersebut diletakkan di salah satu daun timbangan dan catatan amal perbuatan buruknya di daun timbangan lainnya. Maka ternyata buku catatan amal kecil/bithoqoh yang bertuliskan ‘Laa Ilaaha Illallah’ lebih berat[6]. Para ulama ini mengatakan inilah dalil yang menunjukkan bahwasanya yang ditimbang adalah buku catatan amal”[7].

Penimbangan amal 5

“Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa yang ditimbang adalah orang yang beramal itu sendiri berdalili dengan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya suatu hari beliau Rodhiyallahu ‘anhu bersama Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam lalu angin bertiup kencang. Maka berdirilah ‘Abdullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘anhu sehingga angin menyingkap pakaiannya hingga terlihatlah kedua telapak kakinya dan dua betisnya yang kecil. Kemudian para shahabat tertawa. Kemudian Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

مَا تَضْحَكُونَ لَرِجْلُ عَبْدِ اللَّهِ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أُحُدٍ

“Apa yang kalian tertawakan, sesungguhnya kaki (betis) ‘Abdullah lebih berat di atas mizan (timbangan) pada hari qiyamat dari pada Gunung Uhud”[8].

Hadits ini menunjukkan yang ditimbang adalah orang yang beramal”[9].

 

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengisyaratkan menguatkan pendapat pertama. Beliau mengatakan,

Penimbangan amal 6

“Kami mengambil pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang ditimbang adalah amal”[10].

 

 

 

Mudah-mudahan bermanfaat untuk mempertebal iman bagi penulis dan pembaca sekalian.

 

 

 

 

Aditya Budiman bin Usman

-yang mengharap ampunan Robbnya-

[1] Lihat Syarh Lum’atul I’tiqod oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah hal. 38 Maktabah Syamilah.

[2] HR. Bukhori no. 6406 dan Muslim 2694.

[3] Lihat Tafsir Juz ‘Amma hal. 292 terbitan Dar Tsuroya, Riyadh

[4] HR. Bukhori no. 6548, Muslim no. 2849.

[5] Lihat Tafsir Juz ‘Amma hal. 292-293.

[6] HR. Tirmidzi no. 2639. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani Rohimahullah.

[7] Idem hal. 293.

[8] HR. Ahmad no. 920. Syaikh Syu’aib Al Arnauth Rohimahullah menyatakan hadits ini shohih lighoirihi.

[9] Lihat Tafsir Juz ‘Amma hal. 293.

[10] Idem.

 

 

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply