Mendulang Faidah Wafatnya Sang Paman(3)

10 Dec

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Mendulang Faidah Wafatnya Sang Paman (3)

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maawalaah. Pada seri sebelumnya kita telah mengetahui bahwa secara umum syahadat orang yang kematian telah berada di depan matanya tidak teranggap. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kasusnya Abu Tholib. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kisah dan beberapa faidah dari wafatnya sang Paman, Abu Tholib. Lembutnya Dakwah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam Dalam hadits yang telah disampaikan sebelumnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menemui Abu Tholib di kala dia akan menghadapi kematian. Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pun mengatakan,

يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Wahai pamanku, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah”[1].

 Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-1 “Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam (يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah’. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memanggil Abu Tholib dengan kunyah (nama penghormatan –pen) menunjukkan kelembutan/rasa iba beliau. Sebab paman saudara ayah. Maksud satu cabang keturunan bersama ayah. Cabang keturunan merupakan ikatan yang berasal dari 1 garis keturunan dasar. Seolah-olah dia dan ayah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam selayaknya 1 cabang/ranting yang sama”[2]. Faidah : Demikianlah dakwah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam beliau sangat memuliakan orang sebagaimana kedudukan aslinya tanpa menambahi dan mengurangi dari kenyataan yang ada. Bahkan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tidak segan-segan memanggil orang kafir sebagaimana kedudukannya di tengah masyarakatnya. Lihatlah surat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Hiraklius,

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ، مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ….

“Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Muhammad Hamba Allah dan Rosul Nya kepada Hiraklius pembesar Romawi…..”[3].

 Ibnu Hajar Al Asqolani Rohimahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-2 “Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam (عَظِيمِ الرُّومِ) ‘Pembesar Romawi’. Pada potongan hadits tersebut terdapat pelurusan dari penyebutan raja, penguasa/pemimpin. Sebab Hiraklius jauh/tidak berhukum dengan ketentuan Islam. Namun beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tidak lupa, lalai atas kemuliaan kedudukannya (di tengah kaumnya –pen) untuk meraih maslahat dakwah yaitu mengambil simpati/hati[4]. Oleh sebab itu tak layak bagi kita berkata kotor pada orang kafir yang ingin didakwahi. Ini dilakukan bukan karena mengharap dunia dari mereka melainkan karena mashlahat dakwah. Agar mereka mau masuk Islam. Apalagi mencaci maki orang kafir yang mana cacian tersebut tidak ada pada diri mereka . Allahu a’lam.   Beda Mentalqin Orang Kafir dan Kaum Muslimin Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-3 “Sesungguhnya (sebagian -pen) ulama berpendapat bahwa disunnahkan mentalqin orang yang sakaratul maut dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah namun dengan tanpa mengucapkan (قُلْ ) ‘katakanlah’. Sebab boleh jadi orang tersebut bosan disebabkan dadanya sesak ketika menuju kematian malah mengatakan, ‘Tidak’. Ada juga yang menilai makruh kalimat semacam ini atau kalimat lain yang semakna dengannya. Sedangkan dalam hadits ini terdapat teks (قُلْ ) ‘katakanlah’. Maka jawabannya : Sesungguhnya Abu Tholib ketika itu merupakan orang yang kafir. Jika dikatakan kepadanya (قُلْ ) ‘katakanlah’ dan dia enggan maka dia tetap berada pada kekafirannya. Sehingga tidak mengapa mentalqinnya dengan redaksi menggunakan kata (قُلْ ) ‘katakanlah’. Apabila dia tetap berada pada kekafirannya maka tidak berbahaya baginya ditalqin dengan redaksi ini atau boleh jadi dia mendapatkan hidayah daru Allah. Hal ini berbeda dengan seorang yang sebelum sakarat adalah orang yang muslim. Maka talqin dengan redaksi yang demikian dapat membahayakan dirinya”[5]. Faidah : Mentalqin orang yang sebelumnya kafir maka dengan redaksi (قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘katakanlah, Laa Ilaaha Illallah’. Sedangkan orang yang sebelumnya muslim maka mentalqinnya cukup dengan menyebutkan Laa Ilaaha Illallah di sampingnya. Allahu a’lam.   Orang Musyrik di Zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam Paham Makna dan Konsekwensi Kalimat Tauhid ‘Laa Ilaaha Illallah’ Abu Tholib paham betul apa makna dan konsekwensi kalimat Laa Ilaaha Illallah. Demikian juga kaum musyrikin Quroisy secara umum. Lihatlah ucapan yang diungkapkan Abu Tholib dan shahabatnya di kala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menawarkan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah kepada sang paman. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-4 “Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam kepada pamannya,

يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Wahai pamanku, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah”[6].

Paman beliau paham (jika dia mengucapkannya maka -pen) dia harus berlepas dari seluruh sesembahan yang diibadahi selain Allah. Oleh sebab itulah dia enggan mengucapkannya sebab dia paham makna, konsekwensi dan kelazimannya / kewajibannya[7]. Demikian pula dua orang shahabatnya Abu Tholib ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menawarkan kalimat tauhid kepadanya.

فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

“Lalu Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah pun menimpali, “Wahai Abu Tholib, apakah engkau benci dengan agamanya ‘Abdul Muthollib (agama ayahnya –pen) ?”

 Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-5 “Dua orang yang mengatakan kalimat tersebut kepada Abu Tholib adalah ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal. Pertanyaan mereka di sini merupakan pertanyaan untuk mengingkari apa yang diucapkan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebab mereka berdua mengetahui jika Abu Tholib mengucapkan kalimat tauhid tersebut berarti dia harus bertauhid sedangkan agamanya ‘Abdul Muthollib merupakan agama kemusyrikan. Maka keduanya pun mengatakan kalimat yang membangkitkan amarahnya yaitu menyebut agamanya ‘Abdul Muthollib. Sehingga akhirnya dia tidak keluar dari agama ayahnya tersebut. Abu Jahal mati di atas agama ‘Abdul Muthollib. Sedangkan ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Al Musayyib Rodhiyallahu ‘anhuma yang meriwayatkan hadits ini keduanya akhirnya masuk Islam. Kemudian masuk Islam lah 2 dari 3 orang tersebut”[8]. Faidah : Lihatlah saudaraku betapa hidayah taufiq itu hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Orang yang semula ikut andil menyesatkan Abu Tholib sebelum wafatnya diberikan Allah Subhana wa Ta’ala hidayah. Sedangkan orang yang demikian ingin Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dianugrahi hidayah namun tidak Allah ‘Azza wa Jalla berikan hidayah untuknya. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya”. (Al Baqoroh [2] : 272).

Demikian juga firman Allah Subhana wa Ta’ala,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qoshosh [28] : 56).

Allah Tabaroka wa Ta’ala lah yang benar-benar mengetahui siapa diantara hamba Nya yang memang layak mendapatkan hidayah taufiq. Tentu hal ini bukan merupakan bentuk kezholiman sebab Allah adalah Al ‘Aliim (Yang Maha Mengetahui) dan Al Hakiim (Yang Maha Hikmah/Bijaksna). Demikian pula dengan kita, kita tidak pernah tahu apakah hidayah di atas Islam dan Sunnah ini akan ada pada diri kita hingga nyawa kita dicabut malaikat maut. Allahu a’lam. Dari kisah dapat kita ambil faidah betapa orang-orang kafir tidak rela ada orang diantara mereka yang masuk Islam. Mereka akan berusaha sedemikian rupa agar orang tersebut tidak jadi meninggalkan ajaran kekufurannya. Lantas mengapa kita enggan padahal kita menawarkan surga Allah ‘Azza wa Jalla sedangkan mereka yang demikian semangat hanya menawarkan neraka ???!! Allahul Musta’an.   Semangat Mendakwahkan Tauhid Kepada Kerabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menawarkan kalimat tauhid kepada sang paman tidak hanya sekali. Beliau menawarkannya berulang-ulang setelah orang-orang kafir di sekeliling sang paman mencoba menghalangi beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.

فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ

“Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tak henti-hentinya menawarkan dan mengulang-ulang kalimat (Laa Ilaaha Illallah) tersebut kepada Abu Tholib”.

Syaikh DR. Sholeh Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan, mendulang-faidah-wafatnya-sang-paman-iii-6 “Pada potongan hadits ini terdapat faidah bahwasanya seorang da’i yang mengajak orang yang akan wafat (berlaku juga secara umum -pen) untuk menyerukan Laa Ilaaha Illallah tidak boleh putus asa”[9]. Faidah : Mari jangan pernah berputus asa menawarkan dakwah tauhid kepada kerabat dan kaum muslimin secara umun   Insya Allah pada kesempatan berikutnya akan kami lanjutkan faidah dari kisah ini.   2 Robi’ul Awwal 1438 H | 1 Desember 2016 M Setelah ‘Isya       Aditya Budiman bin Usman bin Zubir –Semoga Allah mengampuni dosa kami, kedua orang tua dan kakek nenek kami[1] HR. Bukhori no. 1360, Muslim no. 24. [2] Lihat Al Qoulul Mufid Syarh Kitab Tauhid hal. 350/I terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. [3] HR. Bukhori no. 7, Muslim no. 1773. Teks di atas lafazhnya Muslim. [4] Lihat Fathul Bari hal. 80/I terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA. [5] Lihat Al Qoulul Mufid hal. 355/I. [6] HR. Bukhori no. 1360, Muslim no. 24. [7] Lihat Al Qoulul Mufid hal. 356/I. [8] Lihat Al Qoulul Mufid hal. 351/I. [9] Lihat I’anatul Mustafid Syarh Kitab Tauhid hal. 343/I terbitan Darul ‘Ashomah, Riyadh,KSA  

Tulisan Terkait

Leave a Reply