30 Nov
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Mendulang Faidah Wafatnya Sang Paman (2)
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maawalaah. Pada seri sebelumnya kita telah mengetahui hubungan kekerabatan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dengan Abu Tholib. Demikian pula telah diketengahkan sebagian jasa beliau terhadap diri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan Islam. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kisah dan beberapa faidah dari wafatnya sang Paman, Abu Tholib. Detik-detik wafatnya sang paman
Imam Bukhori dan Muslim[1] mencantumkan sebuah dalam kitab Shohih keduanya dari jalur shahabat Sa’id bin Al Musayyib Rodhiyallahu ‘anhuma dari ayahannya. Ayahnya pernah meriwayatkan,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ. فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ. وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : أَمَا وَاللَّهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ). وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِى أَبِى طَالِبٍ (إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ).
“Ketika kematian Abu Tholib akan tiba, Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengunjunginya. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mendapati bahwa ada Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Al Mughiroh di Abu Tholib. Lalu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bertutur kepadanya, “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah. Sebuah kalimat yang akan aku jadikan sebagai pembela untukmu di Sisi Allah”. Lalu Abu Jahal dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah pun menimpali, “Wahai Abu Tholib, apakah engkau benci dengan agamanya ‘Abdul Muthollib (agama ayahnya –pen) ?” Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tak henti-hentinya menawarkan dan mengulang-ulang kalimat tersebut kepada Abu Tholib hingga dia berucap di akhir hayatnya, “Aku (Abu Tholib -pen) tetap berada di atas agamanya ‘Abdul Muthollib”. Dia enggan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah. Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pun berucap, “Adapun aku, demi Allah aku akan memohonkan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya”. Lalu turunlah Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam (sebab mereka mati di atas kekafiran)”. (QS. At Taubah [9] : 113)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Firman Nya tentang Abu Tholib,
إِنَّكَ لاَ تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang layak menerima petunjuk”. (QS. Al Qoshosh [28] : 56)
Imam Bukhori Rohimahullah memberi judul hadits ini dengan judul ‘Bab Jika seorang musyrik mengucapkan Laa Ilaaha Illallah Menjelang Kematiannya’. Sedangkan Imam Nawawi memberikan judul ‘Bab dalil sahnya keislaman seseorang yang akan didatangi kematian’. Faidah : Sebesar dan semulia apapun kedudukan anda di kalangan manusia, malaikat maut pasti akan mencabut nyawa anda.
Apakah diterima syahadat orang yang nyawanya sudah ditenggorokan
Ibnu Hajar Al Asqolani Rohimahullah menukil perkataan Az Zubair bin Al Munir, “Imam Bukhori tidak mendatangkan jawaban ‘idza’ tegas pada judul bab yang dia buat. Sebab ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam mengucapkan ‘Katakanlah Laa Ilaaha Illallah, sebuah kalimat yang aku akan jadikan pembelaan untukmu’ kepada pamannya, memiliki kemungkinan makna bahwa syahadat ketika ajal sudah di depan mata boleh jadi kekhususan untuk sang paman. Karena selainnya jika dia mengucapkan kalimat itu dalam keadaan yakin kematian (segera mendatanginya) maka tidak akan manfaat syahadatnya. Mungkin juga maksud beliau tidak mencantumkan jawaban untuk kalimat ‘idza’ agar diketahui bahwa beliau menggantung pendapatnya bahwa hal tersebut dirinci. Inilah pendapat yang dijadikan pegangan/kuat”[2]. Sedangkan An Nawawi Rohimahullah mengatakan,
فالمراد قربت وفاته وحضرت دلائلها وذلك قبل المعاينة والنزع ولو كان فى حال المعاينة والنزع لما نفعه الايمان ولقول الله تعالى وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ ويدل على أنه قبل المعاينة محاورته للنبى صلى الله عليه و سلم ومع كفار قريش
“Yang dimaksud dengan ajalnya sudah dekat adalah tanda-tanda kematian sudah datang dan hal itu sebelum dia melihat (malaikat maut akan mencabut nyawanya –pent) dan cabutan nyawa. Seandainya hal tersebut terjadi ketika akan proses pencabutan nyawa tentulah imannya tidak bermanfaat berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. (QS. An Nisa [4] : 18)
Adanya perbincangan Abu Tholib dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan orang-orang kafir dari kalangan Quroisy menunjukkan bahwa hal tersebut sebelum dia melihat ajalnya”[3]. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah berpendapat[4] bahwa mengucapkan syahadat ketika maut telah di depan mata merupakan kekhususan bagi Abu Tholib. Inilah pendapat yang paling tepat Insya Allah. Artinya : selain Abu Tholib tidak akan bermanfaat bagi seseorang taubat apabila nyawanya sudah berada di kerongkongan. Allahu a’lam. Faidah : Demikian besarnya keinginan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mendakwahi ummatnya agar tidak mati di atas kekafiran, terkhusus lagi kepada sang paman. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah menyebutkan 2 sebab mengapa beliau demikian berulang-ulang mengajak sang paman untuk mengucapkan kalimat Laa Illaha Illallah di akhir hayatnya, “Semangat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menggiring beliau untuk menjadikan kalimat tauhid sebagai hujjah yang nyata di sisi Allah untuk sang paman sebagaimana disebutkan dalam hadits, dilatarbelakangi 2 sebab :
Pertama, kedekatan nasab beliau.
Kedua, sebab jasa Abu Tholib kepada Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan Islam sebagaimana yang sudah diketahui.
Oleh sebab itu inilah bentuk terima kasih beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam kepada sang paman”[5].
Demikianlah tanda terima kasih yang nyata, berupa mengingatkan kebaikan dunia akhirat bagi orang yang pernah berjasa kepada kita. Demi Allah inilah sebesar-besar bukti cinta kita kepada seseorang yaitu menyelamatkannya dari dosa dan siksa neraka.
Hal ini juga menunjukkan manhaj dakwahnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang memberikan porsi khusus bagi keluarga dan orang-orang terdekat yang punya andil pada diri beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Insya Allah pada kesempatan berikutnya akan kami lanjutkan faidah dari kisah ini.
22 Shofar 1438 H | 22 Nopember 2016 M
Ketika hendak berangkat mencari nafkah
Aditya Budiman bin Usman bin Zubir
–Semoga Allah mengampuni dosa kami, kedua orang tua dan kakek nenek kami–
[1] HR. Bukhori no. 1360, Muslim no. 24.
[2] Lihat Fathul Bari hal. 140/IV terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[3] Lihat Al Minhaj hal. 161-162/I terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon.
[4] Lihat Al Qoulul Mufid hal. 354/I terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[5] Lihat Al Qoulul Mufid hal. 357/I.
Leave a Reply