13 Feb
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Meminta Perlindungan Kepada Selain Allah
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Pernah dengar ucapan orang yang singggah di suatu tempat yang terlihat ‘angker’, ‘Amit mbah permisi numpang lewat’. Atau ucapan orang yang mau buang hajat di tengah hutan dengan ucapan, ‘permisi mbah mau buang hajat’.
Kedua ucapan ini setidaknya memiliki dua makna :
- Orang yang mengucapkan takut, lantas meminta pertolongan kepada jin atau yang dia anggap sebagai roh penunggu tempat tersebut agar tidak diganggu.
- Pada sebagian masyarakat kata ‘mbah’ itu dimaknai dengan harimau jika di tengah hutan belantara.
Jika kita tilik kasus ini muncul karena adanya rasa takut dari orang tersebut terhadap sesuatu yang tidak dia lihat. Kalau di dalami lagi yang dia takutkan adalah gangguan dari makhluk lain yaitu jin. Maka sungguh telah tetap firman Allah Ta’ala,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi rohaqo”. (QS. Al Jin [72] : 6)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh Hafizhahullah menyampaikan keterangan mirip yang disampaikan Ibnu Katsir Rohimahullah,
“Makna (رَهَقًا) adalah ketakutan, guncang di hati dan menjadikan mereka salah, berdosa dan dungu. Kebersalahan, kedunguan dan dosa di sini dapat secara badan dan ruhiyah. Kalau keadaannya demikian (manusia takut kepada jin) maka jin pun merasa diagungkan dan keburukannya pun akan bertambah. Dahulu orang-orang musyrik memiliki akidah, keyakinan bahwa pada setiap tempat yang mereka singgahi semisal lembah atau selainnya ada yang berkuasa dari kalangan jin yang menunggui tempat tersebut. Tempat tersebut dikuasinya dan dia berada di situ. Mereka dahulu jika singgah di sebuah lembag atau tempat tertentu maka mereka akan mengucapkan, ‘Kami mohon perlindungan pada penguasa tempat ini’ yang mereka maksudkan adalah sang jin. Maka merekapun meminta perlindungan dari jin dengan tujuan agar menjaga mereka keburukan tempat tersebut. Oleh karena itulah Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi rohaqo”. (QS. Al Jin [72] : 6)
Yaitu jin akan menambahkan bagi mereka rasa takut, goyang dan mengikuti nafsu dan jiwa yang buruk. Jika demikian keadaannya maka hal tersebut merupakan hukum kepada mereka”[1].
Intinya apabila kita memohon perlindungan kepada jin, maka apa yang ada pada diri kita tidaklah bertambah melainkan rasa takut yang ada pada hati dan tergambar pada anggota badan, kehinaan dan dosa.
Pertanyaan besar, ‘Lantas apa solusinya ?’
Jawabannya ada pada sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dari Khoulah bintu Hakim Rodhiyallahu ‘anha
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan
(أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ)
‘A’udzu bi kalimatillahit tammahi min syarri maa kholaq’ (Aku berlindung dengan Kalimat Allah Yang Sempurna dari segala keburukan mahluk yang Dia ciptakan). Maka tidak akan ada yang mampu membahayakannya sedikitpun hingga dia beranjak dari tempat tersebut”[2].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan[3],
“Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam (لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ) ‘Tidak akan ada yang mampu membahayakannya’ merupakan susunan kalimat nakiroh dalam konteks nafi. Sehingga memberikan faidah keumuman yaitu dari seluruh macam keburukan dari jin dan manusia serta selain keduanya. Dari segala keburukan yang tampak dan yang tidak tampak hingga dia meninggalkan tempat tersebut. Khabar ini tidak mungkin dari apa yang dikabarkan (tidak sesuai). Karena yang mengucapkannya adalah orang yang jujur dan dibenarkan ucapannya. Namun jika kenyataannya berbeda maka karena adanya faktor penghalang dan bukan karena ketidaksesuaian khabar”.
Artinya dzikir ini merupakan senjata ampuh dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Namun ketika sudah mengucapkan dzikir ini namun masih belum menghasilkan apa yang disebutkan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka yang salah bukan haditsnya namun boleh jadi karena adanya faktor penghalang dari diri orang yang mengucapkannya. Allahu a’lam.
Mudah-mudahan bermanfaat
Menjelang Zhuhur, 1 Jumadil Awwal 1437 H, 10 Pebruari 2016 M
Aditya Budiman bin Usman bin Zubir
[1] Lihat At Tamhid Syarh Kitab Tauhid.
[2] HR. Muslim no. 2708.
[3] Lihat Al Qoulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid hal. 254/I terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
Leave a Reply