29 Jun
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ketika Hawa Nafsu Sudah Menguasai Diri
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Hawa nafsu merupakan salah satu faktor penyebab terbesar terjadinya berbagai maksiat dan penyimpangan dalam diri seseorang. Allah Subhana wa Ta’ala pun mengabadikan sebuah kabar untuk kita tadabburi sebagai pedoman bagi kita dalam hidup dan kehidupan, yaitu sebuah ayat di dalam Al Qur’an Al Karim,
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”.
(QS. Yusuf [12] : 53)
Syaikh ‘Abdur Rohman As Sa’di Rohimahullah mengatakan,
“Firman Allah (إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ) ‘Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan’ maksudnya disebabkan begitu banyaknya ajakannya (nafsu –pen) kepada keburukan berupa perbuatan nista (zina) dan seluruh perbuatan dosa. Sesungguhnya hawa nafsu merupakan tunggangannya syaithon. Dari sanalah dia masuk pada diri seseorang. (إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي) ‘kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku’ sehingga berhasillah jiwa tersebut terlepas dari ajakan hawa nafsu yang buruk. Hingga nafsu yang dirahmati tersebut merasa tenang kepada Tuhannya. Sehingga hawa nafsu tersebut tunduk kepada ajakan petunjuk kebenaran dan mampu melawan ajakan keburukan”[1].
Ringkasnya dari ayat ini kita dapat diketahui bahwa hawa nafsu merupakan salah satu jalan masuknya syaithon untuk menjerumuskan manusia kepada jurang kemaksiatan. Inilah sifat hawa nafsu secara umum kecuali jiwa-jiwa yang dirahmati oleh Penciptanya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
Termasuk dalam hal ini bahkan lebih parah lagi, hawa nafsu ini pun mampu membuat seseorang menganggap baik sebuah hal yang sebelumnya atau sebenarnya dia anggap sebuah hal yang buruk.
Ibnu Bathoh Rohimahullah (wafat Tahun 387 H) menukilkan dalam Asy Syarhu wal Ibanah[2],
“Ibnu ‘Aun mengatakan, “Jika hawa nafsu sudah menguasai hati maka seseorang akan menilai baik, bagus hal-hal yang sebelumnya dia anggap buruk/ hina”.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar Rojihi Hafizhahullah mengatakan,
“Abdullah bin ‘Aun Al Bashri mengatakan, “Jika hawa nafsu sudah menguasai hati maka seseorang akan menilai baik, bagus hal-hal yang sebelumnya dia anggap buruk/ hina”. Maka hawa nafsu dapat membutakan dan membuat tuli seseorang. Hawa nafsu dapat membutakan seseorang dari kebenaran sehingga dia tidak mampu melihatnya. Hawa nafsu pun dapat membuat tuli seseorang sehingga dia tidak mampu mendengar kebenaran. Hawa nafsu juga dapat membisukan seseorang sehingga dia tidak mampu mengatakan kebenaran. Jika hati seseorang telah dikalahkan hawa nafsunya maka dia akan menganggap baik kebid’ahan dan perbuatan maksiat. Sehingga boleh jadi seseorang akan menganggap hina, buruk suatu kebid’ahan pada saat ini. Namun bila hawa nafsu sudah menguasai hatinya maka dia akan menganggap baik, indah suatu kebid’ahan atau maksiat yang kemaren dia anggap hina dan buruk. Sehingga jadilah kebid’ahan itu menjadi sebuah kebaikan dalam jiwanya padahal sebelumnya adalah sebuah keburukan sebab hawa nafsu sudah menguasainya.
Maka wajib bagi seseorang untuk mengekang hawa nafsunya dan mencabut hawa nafsu (yang buruk –pen) dari jiwanya. Allah Subhana wa Ta’ala,
فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآَثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)
“Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. (QS. An Nazi’at [79] : 37-41)
Maka sudah seharusnya seseorang melepaskan jiwanya dari jeratan hawa nafsu yang buruk. Dia pun seharusnya mampu menahan jiwanya dari ajakan hawa nafsu hingga dia tidak menganggap baik kehinaan kebida’ahan dan berbagai perkara baru yang tidak ada contohnya dalam agama”[3].
Pointya :
- Hati-hatilah dari menilai sesuatu hanya berdasarkan hawa nafsu kita. Sebab boleh jadi sejatinya sesuatu itu adalah sebuah hal yang buruk bahkan boleh jadi dia adalah sebuah perkara baru yang diada-adakan dalam agama.
- Boleh jadi ketika kita kendor dari mengekang hawa nafsu yang buruk dalam hati dan jiwa kita, bukan tidak mungkin kita terjerumus dalam sikap ‘menganggap baik’ suatu maksiat dan kebid’ahan yang sebelumnya buruk di hati dan jiwa kita.
- Mintalah agar Allah Subhana wa Ta’ala selalu menjaga hati kita di atas agama Nya. Yaa Muqollibal Quluub, Tsabbit Qolbi ‘ala Diinik.
Sigambal, 15 Syawwal 1439 H / 29 Juni 2018 M.
Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir
[1] Lihat Taisir Karimir Rohman hal. 794/IV terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[2] Lihat Syarhu wal Ibanah oleh Ibnu Bathoh dengan tahqiq ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hal. 45 terbitan Darul Atsariyah, Amman, Yordania.
[3] Lihat Syarh Kitab Asy Syarhu wal Ibanah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar Rojihi hal. 223/I terbitan Maktabah Al ‘Ulum wal Hikam, Mesir.
Leave a Reply