Kaidah Penting Dalam Iman

22 Sep

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kaidah Penting Dalam Iman

 

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Shahabat muslim yang semoga Allah ‘Azza wa Jalla melindungi kita semua. Salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah beriman pada hal yang ghaib. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

 “Alif Lam Mim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib”.

(QS. Al Baqoroh [2] : 1-3)

Berbagai tafsiran ulama tentang makna ghaib pada ayat ini. Rata-rata kita dapati mereka menafsirkannya tafsir dengan contoh (silakan lihat Tafsir Ibnu Katsir). Namun contoh-contoh tersebut merujuk pada satu makna yang luas. Makna tersebut salah satunya disebutkan oleh Penulis Tafsir Jalalain Rohimahumallah,

بِمَا غَابَ عَنْهُمْ مِنَ الْبَعْثِ وَ الْجَنَّةِ وَ النَّارِ

“(Beriman -pen) dengan hal ghaib (tidak dapat diindera) mereka termasuk hari kebangkitan, surga dan neraka”[1].

Ketika kita bermasyarakat, bergaul dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar kita. Sering kita dapati apa yang menjadi keyakinan sebagian mereka melalui bincang-bincang demikian. Salah satu prinsip, pola pikir mereka atau apalah namanya adalah gampang meyakini sebuah keyakinan yang berkaitan dengan terutama masalah yang ghaib. Tak sedikit dari mereka yang beriman dengan hal-hal ghaib berdasarkan ‘katanya katanya’ semata. Padahal bukanlah demikian cara beriman. Simak pelajaran kaidah seputar iman dan prinsip beragama yang terdapat dalam hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ وَفْدُ عَبْدِ الْقَيْسِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا هَذَا الْحَىَّ مِنْ رَبِيعَةَ وَقَدْ حَالَتْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ كُفَّارُ مُضَرَ فَلاَ نَخْلُصُ إِلَيْكَ إِلاَّ فِى شَهْرِ الْحَرَامِ فَمُرْنَا بِأَمْرٍ نَعْمَلُ بِهِ وَنَدْعُو إِلَيْهِ مَنْ وَرَاءَنَا.

قَالَ « آمُرُكُمْ بِأَرْبَعٍ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعٍ. قَالَ أَمَرَهُمْ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ. وَقَالَ « هَلْ تَدْرُونَ مَا الإِيمَانُ بِاللَّهِ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ  شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَأَنْ تُؤَدُّوا خُمُسَ مَا غَنِمْتُمْ وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالنَّقِيرِ وَالْمُقَيَّرِ ».

Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, ‘Utusan Bani Abdul Qois datang menemui Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Lalu mereka berkata, ‘Wahai Rosulullah, sesungguhnya kami ini adalah rombongan dari kampug Rob’iah. Antara kami dan engkau terpisahkan oleh orang-orang kafir yang membahayakan kami. Sehingga kami tidak mudah menemui anda kecuali pada bulan haram. Maka perintahkan kepada kami sebuah perintah/perkara yang dapat kami amalkan dan kami sampaikan kepada orang-orang di daerah kami. Lalu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Aku memerintahkan kepada kalian 4 perkara dan melarang kalian dari 4 perkara”. Perintahkanlah kepada mereka untuk beriman hanya kepada Allah semata. Apakah kalian mengetahui apa itu beriman kepada Allah ?” Mereka pun menjawab, ‘Allah dan Rosul Nya lebih mengetahui’.

Kemudian beliau menjelaskan, “Syahadat bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar disembah kecuali Allah. Bahwa sesungguhnya Muhammad ada utusan Allah, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat dan menunaikan seperlima dari ghonimah kalian. Aku melarang kalian dari minum dari labu yang kering, wadah hijau yang biasa digunakan untuk membawa khomer ke madinah, pohon kurma yang diukir dan sesuatu yang dilumuri tir”[2].

Syaikh Prof. DR. ‘Abdur Rozzaaq Hafizhahullah mengatakan[3],

Orang yang berbicara dengan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah orang Arab. Mereka mengetahui bahasa Arab. Namun demikian mereka tetap mengatakan Allah dan Rosul Nya yang lebih mengetahui karena mereka tahu bahwasanya iman yang hakiki dan syar’i merupakan sesuatu yang dibangun atas taufiq /wahyu semata. Tidak cukup hanya sekedar makna bahasa.

Point yang ingin kami tekankan di sini adalah bahwa perkara ghaib termasuk perkara yang bersifat tauqifiyah. Yang artinya hanya dapat ditetapkan, diyakini dan dihujamkan dalam hati hanya berdasarkan wahyu baik kabar dari Al Qur’an maupun hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Bukan dan tidak sama sekali berdasarkan ‘katanya-katanya’ atau kata orang-orang tua dulu.

Kalaupun anda mengatakan itu kan cuma ucapan saja kami tidak sampai meyakininya apalagi mengimaninya. Kami katakan seperti yang para ulama katakan, ‘Mulut dan lisan itu cerminan apa yang ada di dalam hati’. Apakah orang yang omongannya kotor menurut anda adalah orang yang bertaqwa dan sholeh ?!!! Demikian pula lah dengan hal yang katanya kata-kata orang tua dulu……..

Allahu a’lam

 

اللهم آتِ نفوسنا تقواها ، زكِّها أنت خير من زكاها ، أنت وليُّها ومولاها ، اللهم إنا نسألك الهدى والتقى والعفة والغنى

 

Sigambal, 27 Dzul Hijjah 1438 H / 17 September 2017 M.

Menjelang berangkat kajian,

Aditya Budiman bin Usman

[1] Lihat Tafsir Jalalain hal. 11 terbitan Darus Salam, Riyadh, KSA.

[2] HR. Bukhori no. 87, Muslim no. 17.

[3] Lihat Ta’liqoh ‘ala Syarhus Sunnah lil Imam Al Muzani hal. 78.

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply