11 Jul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Asmaul Husna Itu Tauqifiyah
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Tidak samar lagi, bahwa salah satu perbedaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan selainnya adalah bagaimana mereka mengimani Asmaul Husna. Namun, tak sedikit iman terhadap Asmaul Husna ini tersamar bagi sebagian orang.
Para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah pun memberikan porsi yang besar terkait hal ini. Sehingga banyak ulama membuat kaidah khusus yang membahasa bagaimana Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengimana Asmaul Husna ini. Salah satu kitab khusus tersebut adalah Al Qowa’idul Mutsla karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah. Di dalam kitab tersebut beliau mengatakan[1],
“Kaidah Kelima : Nama-nama Allah bersifat tauqifiyah, bukan ranahnya akal. Berdasarkan ini maka wajib mencukupkan diri pada dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah. Tidak diperkenankan menambah-nambahi dan mengurang-nguranginya. Karena akal tidak mampu mencapai, mengetahui nama-nama yang pantas, cocok, sesuai bagi Allah Ta’ala..
Wajib mencukupkan diri dengan dalil-dalil yang tegas (dari Al Qur’an dan Sunnah) berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Isro [17] : 36)
Juga Firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al A’rof [7] : 33)
Beliau juga mengakatan,
“Sebab memberikan nama kepada Allah Ta’ala dengan nama yang bukan Dia kehendaki/sebutkan atau mengingkari nama yang Allah kehendaki menjadi nama bagi-Nya. Maka ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Allah Ta’ala. Sehingga wajib menempuh adab yang benar terkait hal ini dan mencukupkan diri dengan dalil-dalil yang tegas (dari Al Qur’an dan Sunnah)”[2].
Syaikh ‘Abdu ‘Aziz bin Nashir Al Jalil Hafizhahullah mengatakan, “Makna kaidah bahwa nama Allah itu bersifat tauqifiyah yaitu wajib berhenti, mencukupkan diri dengan dalil yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga tidak boleh menambahi dan mengurangi apa yang ada dalam keduanya. Bahkan wajib mencukupkan diri dengan dalil tersebut terkait lafazh dan makna dari nama-nama Allah itu”[3].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah menjelaskan maksud kaidah ini,
“Makna tauqifiyah yaitu sesungguhnya wajib mencukupkan diri/ berhenti dengan keterangan/ dalil yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga apa saja yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan sebagai nama bagi-Nya maka wajib bagi kita menetapkan bahwa itu adalah nama Allah. Sedangkan nama yang tidak Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan bagi-Nya maka wajib bagi kita untuk diam, berhenti, mencukupkan diri. Kita tidak menetapkan nama itu bagi Allah dan tidak pula meniadakannya. Kita tidak boleh menambahi dan tidak boleh pula mengurangi. Sebab jika kita menambahkan nama yang bukan merupakan nama bagi Allah berarti kita telah berkata, menetapkan sesuatu tanpa ilmu. Pun demikian, jika kita mengurangi, menyembunyikan atau mengingkari sesuatu yang Allah kehendaki sebagai nama bagi-Nya. Kesimpulannya wajib bagi kita untuk mencukupkan diri dengan dalil yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah tentang nama – nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab nama – nama Allah itu bersifat tauqifiyah bukan ranah akal”[4].
Menetapkan nama yang Allah tidak tetapkan sebagai nama bagi-Nya merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mencontohkan,
“Tidakkah anda lihat, sekiranya ada orang yang menetapkan sebuah nama bagi seseorang yang dia tidak ingin nama itu menjadi nama baginya. Tentu ini ternilai sebagai bentuk pelanggaran. Sebab orang tersebut tidak punya hak untuk menamainya. Seandainya ayah anda memberikan nama Muhammad kepada anda. Maka tidak boleh ada orang yang menamai anda dengan nama Ali, atau Sulaiman. Misal lain pula ada orang yang berkata pada anda, “Tidak, aku ingin menamaimu dengan nama Salim”. Dia tidak boleh begitu sebab itu bukan haknya. Karena memberikan nama merupakan kewenangan orang yang berhak untuk itu. Demikian pula, Allah ‘Azza wa Jalla lah satu-satunya yang berhak untuk menetapkan nama bagi-Nya sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Adapun kita maka bukan kewenangan kita menetapkan nama dengan nama yang tidak Allah kehendaki sebagai nama bagi-Nya. Sebab itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala”[5].
Syaikh ‘Abdu ‘Aziz bin Nashir Al Jalil Hafizhahullah mengatakan, “Setiap orang yang menetapkan nama bagi Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama yang tidak Allah dan Rosul-Nya tetapkan sebagai nama bagi-Nya, atau mengingkari sebuah nama dari nama-nama yang Allah tetapkan bagi-Nya berarti orang tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap hak Allah dan menimpakan dirinya sendiri kepada siksa yang pedih”[6].
Sigambal, 8 Dzulqo’dah 1440 H / 11 Juli 2019 M.
Selepas subuh.
Aditya Budiman bin Usman
[1] Lihat Syarh Al Qowaidul Mutsla oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah hal. 88-90 terbitan Muasasah Syaikh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Qosim, Unaizah, KSA.
[2] Idem hal. 93.
[3] Lihat Wa Lillahi Asmaul Husna hal. 28 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[4] Lihat Syarh Al Qowaidul Mutsla hal. 88.
[5] Idem hal. 93.
[6] Lihat Wa Lillahi Asmaul Husna hal. 28.
Leave a Reply