3 Apr
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
3 Kaidah Dalam Mengambil Sebab
Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Langsung saja, latar belakang kami menulis artikel ringkas kali ini adalah sebagian kita belum, atau kurang faham masalah mengambil sebab. Sebab yang kami maksudkan disini bersifat umum. Namun agar lebih mudah difahami, insya Allah akan kami contohkan dalam hal sakit dan obat.
3 kaidah yang kami maksudkan adalah kaidah yang kami nukilkan dari perkataan Syaikh ‘Abdur Rohman bin Nashir As Sa’diy Rohimahullah yang juga merupakan guru dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah.
Syaikh ‘Abdur Rohman bin Nashir As Sa’diy Rohimahullah mengatakan,
أنه يجب على العبد أن يعرف في الأسباب ثلاثة أمور :
أحدها : أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا .
ثانيها : أن لا يعتمد العبد عليها ، بل يعتمد على مسببها ومقدرها ، مع قيامه بالمشروع منها ، وحرصه على النافع منها .
ثالثها : أن يعلم أن الأسباب مهما عظمت وقويت فإنها مرتبطة بقضاء الله وقدره لا خروج لها عنه ، والله تعالى يتصرف فيها كيف يشاء : إن شاء أبقى سببيتها جارية على مقتضى حكمته ليقوم بها العباد ويعرفوا بذلك تمام حكمته حيث ربط المسببات بأسبابها والمعلولات بعللها ، وإن شاء غيرها كيف يشاء لئلا يعتمد عليها العباد وليعلموا كمال قدرته ، وأن التصرف المطلق والإرادة المطلقة لله وحده ، فهذا هو الواجب على العبد في نظره وعمله بجميع الأسباب .
“Sesungguhnya setiap hamba wajib mengetahui permasalahan seputar sebab dalam 3 (tiga) hal :
Pertama, Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab melainkan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai sebab secara syar’i (agama, Al Qur’an dan hadits –ed) atau qodari (ilmu medis/pengobatan –ed.).
Kedua, seorang hamba tidak boleh berpegang/menggantungkan jiwa dan diri kepada sebab tersebut. Melainkan dia harus berpegang/menggantungkan jiwa dan dirinya kepada Dzat Yang Menjadikan Sebab dan Yang Mentaqdirkan Sebab bersamaan dengan melaksanakan hal-hal yang disyari’atkan padanya serta berusaha melaksanakan sebab yang bermanfaat.
Ketiga, Hendaklah ia mengetahui bahwa sebab-sebab yang ada betapapun kuat pengaruhnya namun (tercapai atau tidaknya hal yang diinginkan dari sebab –ed.) terkait dengan taqdir/ketentuan Allah Subhana wa Ta’ala dan tidak akan lari dari hal itu. Allah Ta’ala melakukan apa yang Dia inginkan. Jika Dia berkehendak maka dia tetapkan akan terlaksananya pengaruh sebab sebagaimana mestinya. Maka ini sesuai dengan hikmaNya agar hamba Nya mengambil sebab. Sehingga dengan itu seorang hamba akan mengetahui kesempurnaan hikmah Nya. Dimana Allah mengaitkan sebab-sebab yang berpengaruh dengan pengaruhnya. Namun jika Allah berkehendak, Dia mengubah hal itu agar hamba-hamba Nya tidak berpegang semata-mata dengan sebab dan agar mereka mengetahui sempurnanya Kemahakuasaan Nya. Bahwasanya pengaturan yang mutlak/sempurna dan irodah yang sempurna hanya milik Allah semata. Ini adalah hal yang wajib diketahui seorang hamba dalam pandangan berfikir dan perbuatannya terhadap semua sebab”[1].
Kita ambil contoh untuk kaidah pertama, sebab kesembuhan yang telah ditetapkan syari’at misalnya adalah meruqyah diri atau orang lain dengan membacakan Surat Al Fatihah. Hal ini berdasarkan hadits yang diiwayatkan dari Abu Said Rodhiyallahu ‘anhu tentang seorang kepala kabilah yang tersengat bisa kalajengkin. Namun kami cuplikkan potongan akhirnya,
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ».
“Wahai Rosulullah, demi Allah aku tidak meruqyahnya melainkan aku bacakan padanya Fathihatul Kitab (Surat Al Fathihah)”. Kemudian Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam tersenyum kemudian mengatakan, “Darimana engkau tahu bahwa itu (Surat Al Fathihah) adalah ruqyah ?[2]”
Sedangkan sebab kesembuhan yang telah ditetapkan menurut qodari misalnya obat-obatan dalam ilmu kedokteran.
Untuk kaidah kedua, misalnya seseorang yang apabila tidak diruqyah maka dia merasa sangat yakin dirinya tidak akan sembuh. Demikian juga seseorang yang kalau tidak berobat ke dokter fulan maka dia merasa sangat yakin tidak akan sembuh atau dia hanya sembuh kalau berobat ke dokter fulan. Namun yang benar adalah kedua hal di atas hanyalah sebab dan kita disyari’atkan untuk mengambil sebab namun tidak berpegang semata-mata dengan sebab tertentu.
Untuk kaidah ketiga, betapapun usaha yang kita lakukan maka hasil akhirnya atau dalam hal ini kesembuhan berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Boleh jadi ketika kita mengambil sebab yang terlihat sepele namun Allah Subhana wa Ta’ala berikan kesembuhan. Sebaliknya boleh jadi kita telah menempuh sebab yang luar biasa namun qodarullah tidak sembuh. Kedua hal ini berputar dalam hal Taqdir Allah, Kemahahikmahan Allah dan KemahakuasaanNya.
Sehingga yang terpenting bagi kita dalam masalah mengambil sebab adalah mengambil sebab yang syar’i dan qodari serta tidak mengambil sebab yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Syaikh ‘Abdur Rohman As Sa’diy Rohimahullah mengatakan,
وما نهى عنه فليس من الأسباب النافعة
“Semua hal yang dilarang dalam syari’at maka bukanlah sebab-sebab yang mendatangkan manfaat”[3].
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Sigambal, ditemani Syifa dan tangisannya
3 Jumaadil Akhiroh 1435 H/ 3 April 2014 M
Aditya Budiman bin Usman.
[1] Lihat Al Qoulul Sadiid fii Maqoosid at Tauhid hal. 105-106 terbitan Darul Qobs, Riyadh, KSA.
[2] HR. Bukhori no. 5417, Muslim no. 2201.
[3] Lihat Al Qoulul Sadiid fii Maqoosid at Tauhid hal. 106.
Leave a Reply