17 Apr
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pengakuan Kesalahan Yang Sempurna
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Ada banyak versi kalam ulama seputar syarat taubat. Diantaranya apa yang disampaikan
Imam Nawawiy Rohimahullah tentang syarat diterimanya taubat seseorang (klik di sini).
Namun ulama lain, semisal penulis kitab Manaazilus Saailiin mengatakan,
“Syarat taubat ada tiga, [1] Penyesalan, [2] meninggalkan dosa dan [3] i’tiidzar”[1].
Yang menarik dari apa yang beliau sampaikan adalah syarat ketiga yaitu i’tidzaar (meminta ampunan dengan memberikan alasan).
Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan[2],
“Adapun i’tidzaar statusnya masih diperselisihkan. Sebagian ulama berpendapat, ‘Diantara kesempurnaan taubat adalah dengan meninggalkan i’tidzaar. Karena i’tidzaar merupakan pembelaan atas kesalahan yang telah dilakukan, sedangkan meninggalkan i’tidzaar berarti pengakuan atas kesalahan yang telah dilakukan. Taubat tidaklah sah melainkan setelah adanya pengakuan terhadap kesalahan yang dilakukan”.
“Tentang hal ini seorang penyair mengatakan kepada rajanya yang telah mencela dan mengecamnya atas sesuatu hal,
“Aku tidak menerima kecamanmu dengan mengajukan alasan
Namun aku mengakui apa yang engkau katakan
Aku mengetuk pintu maafmu dengan penuh perendahan
Semoga yang mulia memperbaiki apa yang terjadi diantara kita”.
Ketika sang raja mendengar ucapannya itu ia pun segera berdiri dan mencabut kecamannya”.
“Maka pengakuan terhadap kesalahan yang sempurna adalah dengan tidak mengajukan alasan (pembenaran kesalahan yang telah diperbuat -pen). Dengan mengatakan pada hati dan lisannya, “Yaa Allah tidak ada alasan bagiku untuk melakukan dosa, tidak ada kekuatan bagi ku, aku memohon pertolongan Mu. Namun aku adalah orang yang telah melakukan dosa dan memohon ampunan Mu. Yaa Allah aku tidak mengajukan alasan pembenaran melakukan dosa itu. Dosa tersebut sepenuhnya karena diriku, semata kesalahanku sekiranya berkenanlah Engkau ampuni diriku, jika tidak itu maka semua itu adalah kekuasaan Mu”[3].
Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan,
“Yang terlihat jelas dan dapat aku pahami dari apa yang disampaikan Penulis Kitab Al Manaazil Saairiin bahwa yang dia maksudkan dengan i’tidzaar adalah menunjukkan kelemahan, kepasrahan, kuatnya musuh dan dahsyatnya dorongan hawa nafsu. Sesungguhnya kesalahan yang telah aku perbuat itu bukanlah karena meremehkan kedudukan Mu, bukan pula karena ketikdaktahukanku tentang kedudukan Mu, bukan pula aku mengingkari pengawasan Mu terhadapku, bukan pula meremehkan ancaman Mu. Namun aku terjatuh melakukan kesalahan karena aku telah dikalahkan hawa nafsuku serta ketidakberdayaanku melawan penyakit syahwat. Namun aku sangat mengharapkan ampunan Mu, pengampunan dosa dari Mu, baik sangkaku kepada Mu, mengharapkan belas kasih Mu, mengharapkan rahmat dan hilm (shifat mendahulukan maaf daripada murka) Mu. Aku mengakui bahwa aku telah tertipu hawa nafsuku dan nafsuku telah memerintahkanku untuk berbuat keburukan sedangkan Engkau telah menutup aibku sedangkan kebodohanku telah membantuku. Maka tidak ada jalan untuk mendapatkan perlindungan dan pegangan melaikan kepada Mu. Tidak ada pertolongan untuk senantiasa mena’atimu melainkan dengan hidayah taufik dari Mu. Dan kalimat yang semisal dengan itu yang terkandung padanya ratapan akan dosa, merendahkan diri, rasa sangat butuh, ungkapan kesadaran lemahnya diri serta pengakuan penghambaan diri kepada Allah”.
“Maka ini merupakan taubat yang sempurna yang hanya dijalani oleh orang-orang yang benar-benar mengharapkan belas kasih Robb mereka ‘Azza wa Jalla dan Allah mencintai hamba-hamba Nya yang berharap belas kasih Nya” .
Dari apa yang beliau sampaikan ini dapat kita pahami bahwa taubat yang sempurna akan terwujud bila ada pengakuan yang sempurna dari pelaku dosa tanpa adanya alasan untuk membenarkan dosa yang dilakukan serta besarnya harapan agar Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni dosa yang telah lalu. Bahkan mengakui kelemahan diri, kelalaian jiwa dan sangat membutuhkan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sigambal, Setelah Subuh ditemani segelas kopi ginseng
24 Jumadits Tsaniy 1436 H, 14 April 2015 M
Ayahnya Syifa dan Hudzaifah.
[1] Lihat Madarijus Salikin hal. 539/I terbitan Daru Shomi’i, Riyadh, KSA.
[2] Idem hal. 540/I.
[3] Idem hal 541/I.
Leave a Reply