Menuntut Ilmu Menuju Kemuliaan

18 Jul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Menuntut Ilmu Menuju Kemuliaan

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Tak ragu lagi menuntut ilmu agama merupakan sebuah ibadah yang hendaknya diprioritaskan oleh setiap muslim. Banyak sekali kitab klasik maupun kontemporer, ceramah, kuliah dan kajian yang membahas betapa pentingnya dan mulianya menuntut ilmu agama. Saking seringnya kita sampai hafal ayat ataupun hadits tetang ilmu meskipun kita tidak menyengaja diri untuk menghafalnya.

Diantara dalil yang amat populer itu adalah Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

 “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?”. (QS. Az Zumar [39] : 9).

Ayat lainnya adalah ketika Allah Subhana wa Ta’ala membuat permisalan bahwa orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali mereka layaknya laba-laba yang sedang membuat rumah. Padahal rumah laba-laba adalah sarang yang paling lemah. Kemudian pada 2 ayat berikutnya Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

 “Itulah permisalan-permisalan yang kami buat untuk manusia, namun tidak ada yang memahami kecuali orang-orang yang berilmu”. (QS. Al Ankabut [29] : 43).

Kemudian diantara hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini yang populer di telinga kita adalah

مَنْ يُرِدِ الله بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan baginya kebaikan yang sangat banyak maka Dia akan pahamkan kepadanya urusan agama”[1].

Ibnu Hajar Al Asqolani (wafat 852 H) Rohimahullah mengatakan,

“Mafhum hadits ini bahwa sesungguhnya siapa saja yang tidak berusaha mempelajari agama – yaitu memperlajari pondasi-pondasi agama Islam dan dilanjutkan dengan cabang-cabang Islam – maka sungguh dia telah tercegah dari kebaikan yang banyak sekali[2].

Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Hafizhahullah mengatakan,

“Siapa saja yang tidak mengetahui perkara agamanya maka dia bukanlah orang yang faqih/ paham agamanya, juga tidak termasuk penuntut ilmu sehingga dia layak dikualisifikasikan sebagai orang yang tidak diinginkan atasnya berbagai kebaikan[3].

Hadits yang diriwayatkan melalui jalur shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Darda’ Rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

 “Barangsiapa yang menempuh sebuah jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan sebuah jalan untuknya dari jalan jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan/merendahkan sayap-sayapnya karena ridho kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampunan untuknya oleh penghuni langit dan bumi bahkan ikan di dalam laut pun juga memohonkan ampunan untuknya. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan seorang ahli ibadah (yang kurang berilmu -pen) layaknya keutamaan bulan di malam hari atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama merupakan ahli waris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham namun yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti dia telah mengambil bagian warisan yang banyak”[4].

 Ibnu Jama’ah (wafat 733 H) Rohimahullah mengatakan,

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada derajat di atas derajat orang-orang yang malaikat dan selainnya menyibukkan diri dengan memohonkan ampunan dan berdoa untuknya. Malaikat pun merendahkan sayapnya sebagai bentuk ridho kepada mereka. Sesungguhnya seseorang benar-benar berlomba-lomba meminta dido’akan orang yang sholeh atau mininimal orang yang dikiranya sholeh. Lantas bagaimana sikapnya dengan doa dari malaikat ?![5]

Apa yang beliau katakan seolah membuat kami seakan-akan baru membaca hadits Abu Darda di atas. Bagaimana tidak, sikap kita dalam dunia nyata sering sekali seperti yang beliau katakan. Kita lebih sering meminta agar dido’akan seorang ustadz, kiyai atau orang lain yang kita anggap sholeh dan do’anya maqbul. Namun kita justru lupa dengan do’a para malaikat, penghuni langit yang sangat dekat dengan Pencipta, Pemilik dan Pengatur Alam Semesta.

Saudaraku, ada hal yang unik yang ditempuh Ibnu Jama’ah Rohimahullah dalam menulis kitabnya ini. Beliau memulai kitabnya dengan ‘Bab Keutamaan ilmu, ulama dan keutamaan mengajar dan belajar’. Kemudian pada bab kedua beliau memberikan judul ‘Tentang adab orang yang berilmu terhadap dirinya sendiri dan memperhatikan murid dan pelajarannya’. Diantara kedua bab ini beliau membuat sebuah fasal yang intinya mengingatkan bahwa semua keutamaan yang disebutkan pada bab pertama hanyalah untuk orang-orang yang menuntut ilmu dan mengajarkanya dengan niat yang benar. Lalu beliau membawakan beberapa hadits yang berbicara tentang ancaman orang-orang menuntut ilmu dengan niat yang salah.

Salah satu hadits yang beliau bawakan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barangsiapa yang mencari ilmu untuk mendebat para ulama atau mengolok-olok orang bodoh atau agar mengalihkan pandangan manusia kepadanya (supaya tenar, banyak pengikut –pen) Allah akan memasukkannya ke neraka”[6].

Beliau juga membawakan atsar dari Hammad bin Salamah (wafat 168 H) Rohimahullah, beliau adalah seorang tabi’ut tabi’in. Beliau Rohimahullah mengatakan,

مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ لِغَيْرِ اللهِ تَعَالَى مُكِرَ بِهِ

“Barangsiapa yang mencari hadits (ilmu) bukan untuk Allah Ta’ala berati dia telah terpedaya (tertipu)”[7].

Yang membuat kami terhenyuk pada bab kedua (tentang adab orang yang berilmu terhadap dirinya sendiri dan memperhatikan murid dan pelajarannya) beliau membawakan banyak ayat salah satunya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al Anfal [8] : 27)

Bukankah ilmu adalah amanah Allah dan Rosul Nya Shollallahu ‘alaihi wa sallam ??!! Bukankah orang yang mencari ilmu adalah orang yang sudah tahu mana yang Allah ‘Azza wa Jalla dan Rosul Nya Shollallahu ‘alaihi wa sallam haramkan ??!!

Duhai jiwa, tidakkah engkau malu disebut sebagai penuntut ilmu, ustadz dan lain-lain, padahal engkau adalah engkau yang bergelimang maksiat ?!!! Kalaulah bukan dengan ilmu niat akan dibimbing menjadi lurus mengharap ridho Mu, niscaya hambamu ini akan berhenti sampai di sini…

Ibnu Jama’ah Rohimahullah juga mengatakan,

“Karena ilmulah yang menjadikan berbagai ibadah benar. Sehingga ibadahlah yang membutuhkan dan sangat bergantung terhadap ilmu. Bukan sebaliknya ilmu yang bergantung kepada ibadah[8].

Yaa Allah jagalah niat orang-orang yang menuntut ilmu agar senantiasa mencari karena Mu.

Sigambal, setelah subuh

2 Dzul Qo’dah 1439 H, 15 Juli 2018 M

 

 

Aditya Budiman bin Usman Bin Zubir

[1] HR. Bukhori no. 71 dan Muslim no. 1037.

[2] Lihat Fathul Bari 290/I terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.

[3] Lihat Al Mu’lim bi Adab Al ‘Alim wa Al Muta’allim Tahdzib Kitab Tadzkirotu As Sami’ wa Al Mutakallim hal. 47 terbitan Dar Imam Muslim, Madinah, KSA.

[4] HR. Bukhori no. 71 dan Muslim no. 1037.

[5] Lihat Al Mu’lim bi Adab Al ‘Alim wa Al Muta’allim Tahdzib Kitab Tadzkirotu As Sami’ wa Al Mutakallim hal. 49.

[6] HR. Tirmidzi no. 2654 dan lain-lain. Hadits ini dinilai hasan oleh Al Albani Rohimahullah.

[7] Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (251/VI) dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi no. 1153.

[8] Lihat Al Mu’lim bi Adab Al ‘Alim wa Al Muta’allim Tahdzib Kitab Tadzkirotu As Sami’ wa Al Mutakallim hal. 56.

Tulisan Terkait

Leave a Reply