Don’t Do These When You’re Fasting

2 May

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Don’t Do These When You’re Fasting

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maawalaah.

Mau tidak mau, Romadhon telah menyapa kita di tengah Pandemik Covid-19. Suka tidak suka, demikianlah ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pasti ada hikmahnya. Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk ridho terhadap ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla. Salah satu bentuk keridhoan itu adalah dengan tetap melaksanakan berbagai kewajiban yang Allah wajibkan kepada kita yang salah satunya adalah puasa Romadhon.

Salah satu hal yang harus kita lakukan ketika puasa adalah dengan meninggalkan hal-hal yang harus ditinggalkan ketika berpuasa. Diantara hal-hal yang harus ditinggalkan itu adalah apa yang tercantum di hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan melalui Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ، وَالْجَهْلَ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan zuur, melakukannya, berbuat ‘kebodohan’ maka Allah tidak butuh dia menahan lapar dan dahaganya”[1].

Berikut sebagian kecil point penting hadits hadits ini :

Untuk mengetahui kandungan hadits ini, hal pertama yang harus kita pahami adalah

Penjelasan Makna Kata :

  • Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (قَوْلَ الزُّورِ) ‘ucapan zuur

Ibnu Hajar (wafat Tahun 852 H) Rohimahullah mengatakan,

“Ar Roghib mengatakan, makna zuur adalah perkataan dusta, dikatakan demikian karena zuur adalah perkataan yang menyimpang dari kebenaran”[2].

 Syaikh Abdullah Alu Bassam Rohimahullah mengatakan,

Zurr adalah semua ucapan, perkataan yang menyimpang dari kebenaran, termasuk di dalamnya dusta baik yang kecil dan yang besar. Termasuk zuur yang paling besar adalah persaksian palsu untuk mengambil sesuatu yang bathil atau menolak kebenaran”[3].

Syaikh Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,

“Perkataan zuur adalah semua perkataan, ucapan yang menyimpang dari kebenaran menuju pada kebathilan, termasuk dalam zuur ini adalah semua ucapan, perkataan yang haram hukumnya diantaranya dusta, cacian, makian, namimah (adu domba walaupun itu benar –pen) dan persaksian palsu”[4].

  • Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (وَالْعَمَلَ بِهِ) ‘dan melakukannya’

Syaikh Abdullah Alu Bassam Rohimahullah mengatakan,

“Maksudnya adalah melakukan hal-hal yang menjadi konsekwensi apa yang Allah larang, diantaranya persaksian palsu dan semua yang Allah larang”[5].

Syaikh Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,

“Melakukan perbuatan zuur maksudnya adalah melakukan semua hal-hal yang Allah haramkan yang padanya ada unsur menebar permusuhan diantara manusia misalnya kezholiman, khiyanat, penipuan, mengambil harta orang lain, mengganggu orang lain, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini menikmati, menyimak atau menonton sesuatu yang Allah haramkan, untuk dilihat dan didengar, misalnya nyanyian/lagu dan musik[6].

  • Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (وَالْجَهْلَ) ‘dan berbuat ‘kebodohan’

Syaikh Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,

“Kebodohan disini maksudnya kedunguan, yaitu sesuatu yang bertentangan/berkebalikan dengan petunjuk baik terkait ucapan dan perbuatan”[7].

  • Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ) ‘Allah tidak butuh dia menahan lapar dan dahaganya’

Ibnu Hajar Rohimahullah mengatakan,

Ibnu Bathol rohimahullah mengatakan, Sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ) ‘Allah tidak butuh dia menahan lapar dan dahaganya’ maksudnya bukanlah (jika dia melakukan hal yang sebelumnya -pen) maka diperintahkan untuk meninggalkan (membatalkan) puasanya. Tetapi maksudnya adalah peringatan keras terhadap ucapan zuur dan hal lain yang disebutkan pada hadits ini”[8].

Beliau juga mengatakan,

“Adapun sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam (فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ) ‘Allah tidak butuh’ tidak punya makna kebalikannya (kalau puasanya tidak melakukan hal yang dilarang di atas berarti Allah butuh –pen). Sebab sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatu apapaun. Namun maknanya adalah bukan puasa yang demikian yang Allah inginkan dilaksanakan para hamba-Nya”[9].

Beberapa point kesimpulan :

  • Syaikh Abdullah Al Fauzan Hafizhahullah mengatakan,

“Hadits ini merupakan dalil wajib bagi orang yang berpuasa untuk menjaga puasanya daru hal-hal yang mempengaruhi, menjadikan pahala puasanya cacat/kurang. Hal itu dapat dilakukan dengan menghiasi puasanya dengan berbagai akhlak mulia, menjauhi akhlak yang buruk semisal ucapan zuur, melakukannya dan berbuat suatu kebodohan. Akhlak-akhlak buruk ini meskipun dilarang pada seluruh waktu, namun disebutkan secara khusus pada saat puasa menunjukkan bertambah buruknya perbuatan itu bila dilakukan orang yang berpuasa. Artinya puasanya cacat dan pahalanya sedikit sebab bukan demikian puasa yang sempurna.  Jika demikian maka hendaklah orang yang berpuasa menjaga puasanya dari berbagai ucapan yang haram, perangai yang buruk sebab waktu berpuasa adalah waktu yang sangat bernilai bagi jiwa dan terlalu berharga bila dihabiskan untuk sesuatu yang membahayakan pahala puasa bahkan dapat menghilangkan esensi/hakikat puasa terkait pelatihan akhlak”[10].

  • Syaikh Abdullah Alu Bassam Rohimahullah mengatakan,

“Puasa yang tekontaminsasi dengan ucapan zuur, ‘kebodohan’ tak bermakna adalah puasa yang pahalanya sedikit. Sebab yang demikian bukan puasa yang sempurna. Hendaklah orang yang berpuasa menjaga dirinya dari kata-kata yang haram dan ucapan-ucapan yang tidak perlu diucapkan[11].

  • Beliau juga mengatakan,

“Al Wazir Rohimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa dusta dan ghibah merupakan hal yang dibenci (baca : haram) pada saat puasa, bukan merupakan pembatal puasa. Sehingga puasanya secara hukum sah, dan ini dibangun di atas kaidah, “Sesungguhnya sesuatu yang haram secara umum dan tidak dikaitkan dengan sebuah ibadah maka sesuatu yang haram itu tidak membatalkan pauasa. Berbeda bila keharamannya khusus pada saat berpuasa[12].

Namun klaim sepakat ini kurang tepat sepertinya sebab ada sebagian ulama yang menyelisihi pendapat ini, Ibnu Hajar Rohimahullah menukilkan,

“Ibnu At Tin Rohimahullah mengatakan, “Zhohir hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang mengghibahi saudaranya ketika berpuasa maka puasanya batal. Sebagian salaf berpendapat demikian. Namun jumhur ulama tidak sependapat. Namun makna hadits yang tepat adalah ghibah merupakan salah satu dosa-dosa besar dan dosanya tidak cukup memadai pahala puasanya”[13].

  • Syaikh Abdullah Alu Bassam Hafizhahullah mengatakan,

“Tujuan dari pensyariatan puasa adalah bukan hanya untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya, lapar, dahaga bahkan hal-hal lain yang menyertai itu diantaranya mengekang syahwat, memadamkan dampak amarah, malatih jiwa mengendalikan amarah hingga seseorang itu menjadi lebih tenang. Jika hal-hal ini tidak tercapai maka Allah tidak akan menganggap/ menerima puasanya”[14].

Allahu Ta’ala A’lam

Dirumah aja, Senin 6 Sya’ban – 29 Maret 2020 M

Aditya Budiman bin Usman bin Zubir

[1] HR. Bukhori no. 1903, 6057.

[2] Lihat Fathul Bari hal. 612/XIII terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.

[3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 482/III terbitan Maktabah Asadi, Mekkah Mukarromah, KSA.

[4] Minhatul Alam fi Syarhi Bulughil Marom hal. 39/V terbitan Maktabah Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[5] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 482/III.

[6] Minhatul Alam fi Syarhi Bulughil Marom hal. 39/V.

[7] Idem.

[8] Lihat Fathul Bari 235/V.

[9] Idem.

[10] Lihat Minhatul Alam hal. 38/V.

[11] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 483/III.

[12] idem.

[13] Lihat Fathul Bari hal. 614/XIII.

[14] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 484/III.

Tulisan Terkait

Leave a Reply