’Aib/Cacat Yang Makruh dan Boleh Pada Hewan Qurban

3 Oct

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

’Aib/Cacat Yang Makruh dan Boleh Pada Hewan Qurban

Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.

Melanjutkan pembahasan sebelumnya seputar qurban/udhiyah. Pada kesempatan ini kita akan sambung dengan tema ‘aib yang makruh pada hewan qurban, apabila ‘aib ini ada maka qurbannya tetap sah.

‘Aib/cacat yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang disebutkan Penulis Shohih Fiqh Sunnah,

aib makruh1

‘Aib/cacat yang makruh pada hewan qurban, namun tetap sah (jika ada) :

  1. Putus, terpotong salah satu kuping/telinganya atau sebagian darinya.

Jumhur/mayoritas para ulama berpendapat bahwa hewan yang demikian tidak sah dijadikan qurban. Namun pendapat ini perlu ditinjau lagi karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam hanya membatasi aib/cacat yang menyebabkan tidak sahnya hewan qurban pada 4 hal saja.

Sedangkan perkataan ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu hanyalah menjelaskan bahwa

أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَسْتَشْرِفَ اَلْعَيْنَ وَالْأُذُنَ

“Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar bersungguh-sungguh memeriksa mata dan kuping/telinga hewan qurban”[1].

Hadits ini menunjukkan bahwa hewan yang memiliki cacat berupa lobang dan ada bagian yang terpotong namun tidak menunjukkan tidak sahnya berqurban dengannya.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hewan yang terlahir tanpa kedua telinga. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i Rohimahumullah berpendapat bahwa jika hewan yang akan dijadikan qurban terlahir tanpa telinga maka tidak sah dijadikan qurban. Namun jika terlahir dengan telinga yang kecil maka sah dijadikan hewan qurban”[2].

Teks lengkap salah satu riwayat ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu di atas adalah sebagai berikut :

وَعَنْ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: – أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَسْتَشْرِفَ اَلْعَيْنَ وَالْأُذُنَ, وَلَا نُضَحِّيَ بِعَوْرَاءَ, وَلَا مُقَابَلَةٍ, وَلَا مُدَابَرَةٍ, وَلَا خَرْقَاءَ, وَلَا ثَرْمَاءَ

‘Dari ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ‘Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk bersungguh-sungguh memperhatikan mata dan teliha hewan qurban agar kami tidak berqurban dengan hewan yang ‘Auroa’, Muqoabalah, Mudaabaroh, Khormaa’u, Tsarmaa’u’.

Tentang hadits ini penulis Subuulus Salaam mengatakan,

aib makruh1a

‘Maksud (أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَسْتَشْرِفَ اَلْعَيْنَ وَالْأُذُنَ) adalah memeriksa dan memperhatikannya agar tidak terdapat kekurangan dan cacat’[3].

Sedangkan penulis Taudhiul Ahkaam mengatakan,

aib makruh1b

‘Yaitu mengangkat pandangan/memperhatikan sesuatu dalam rangka memeriksanya agar diketahui selamatnya (hewan qurban) dari kekurangan yang ada padanya’[4].

Penulis Subuulus Salaam mengatakan,

aib makruh1c

‘(وَلَا مُقَابَلَةٍ) yaitu yang terpotong sebagian kuping/telinganya sedangkan yang bagian lainnya masih menggantung (ada –ed.)’[5].

Penulis Taudhiul Ahkaam mengatakan,

aib makruh1d

‘(وَلَا مُقَابَلَةٍ) yaitu kambing yang putus telinga/kuping bagian depannya dan yang lainnya masih menggantung seperti kelopak daun’[6].

Penulis Subuulus Salaam mengatakan,

aib makruh1e

‘(وَلَا مُدَابَرَةٍ) yaitu yang terpotong bagian akhir kuping/telinganya sedangkan yang bagian lainnya masih menggantung (ada –ed.)’[7].

Penulis Taudhiul Ahkaam mengatakan,

aib makruh1f

‘(وَلَا مُدَابَرَةٍ) yaitu yang putus telinga/kuping bagian sebelah belakangnya[8].

Penulis Subuulus Salaam mengatakan,

aib makruh1g

‘(وَلَا خَرْقَاءَ) yaitu yang terbelah kuping/’telinganya[9].

Penulis Taudhiul Ahkaam mengatakan,

aib makruh1h

‘(وَلَا خَرْقَاءَ) disebutkan dalam An Nihaayah yaitu pada kuping/telinganya terdapat lobang yang bundar[10].

Penulis Subuulus Salaam mengatakan,

aib makruh1i

‘(وَلَا ثَرْمَاءَ) yaitu yang putus sepasang giginya’[11]. Penulis Taudhiul Ahkaam juga mengatakan hal yang sama[12].

aib makruh2

  1. Patah tandukknya atau sebagian besar darinya

Jumhur/mayoritas ulama berpendapat bahwa bolehnya berqurban dengan hewan yang patah tandukknya jika tidak patah seluruhnya. Namun apabila patah seluruhnya maka Imam Malik Rohimahullah berpendapat makruh hukumnya. Seolah-olah beliau menganggap bahwa hal tersebut termasuk penyakit yang jelas.

Penulis mengatakan,

Telah terdapat sebagian riwayat ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu sebelumnya tentang larangan (menjadikan qurban pada hewan yang -ed) patah tanduknya. Namun riwayat tersebut adalah riwayat yang lemah.[13]

Penulis Taudhiul Ahkaam mengatakan[14].

aib makruh1k

Jumhur ulama berpendapat sah berqurban dengannya. Imam Ahmad Rohimahullah mengatakan, ‘Tidak sah berqurban dengan hewan yang terpotong tanduk dan kuping/telinganya’. Berdasarkan riwayat dari ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu yang dinilai shohih oleh At Tirmidzi. Zhohir maknanya adalah haram/terlarang dan tidak sah.

Imam Asy Syafi’i Rohimahullah berpendapat bahwa hukumnya sah. Karena klaim shohih riwayat ‘Ali Rodhiyallahu ‘anhu masih perlu dikoreksi. Juga karena telinga/kuping tidaklah langsung berpengaruh dengan makannya hewan qurban”[15].

aib makruh1l

Syaikh ‘Abdur Roham As Sa’diy Rohimahullah mengatakan,

“Pendapat yang tepat dari pendapat para ulama bahwa sesungguhnya cacat pada kuping/telinga dan tanduk sah hukumnya dijadikan qurban. Karena larangan berqurban dengan hewan yang cacat kuping/telinga dan tanduknya –jika riwayatnya shohih dijadikan hujjah- hanya menunjukkan hukum makruh. Sebagaimana perintah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam untuk bersungguh-sungguh memperhatikan kuping/telinga dan tanduk hewan qurban”[16].

Pembahasan berikutnya adalah aib/cacat yang tidak berpengaruh sah atau tidaknya hewan qurban atau dengan kata lain aib/cacat yang boleh ada pada hewan qurban.

Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan,

aib makruh3

‘Aib/cacat yang tidak ada pengaruhnya

Tidak ada riwayat yang shohih yang menunjukkan larangan berqurban dengannya. Namun ‘aib/cacat ini meniadakan kesempurnaan hewan qurban. Sehingga sah dan tidak haram hukumnya berqurban dengannya. Walaupun sebagian ulama menganggapnya tidak sah. ‘Aib/cacat tersebut adalah Al Hatamaa’u yaitu yang tidak ada giginya, Al Batroo’a yaitu yang putus ekornya, Al Jad’aa’u yaitu yang putus hidungnya, Al Khushoo yaitu hewan yang dikebiri dan semisal dengan itu.

 

 

Setelah Subuh 6 Dzul Hijjah 1435 H/1 Oktober 2014 M.

 

Aditya Budiman bin Usman

[1] HR. Tirmidzi no. 1498, Abu Dawud no. 284, Ibnu Majah no. 3142. Hadits ini dinilai lemah oleh Syaikh Al Albani Rohimahullah. Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan hadits ini hasan dengan jalur-jalurnya.

[2] Lihat Shohih Fiqh Sunnah oleh Syaikh Kamaal bin Abdul Malik Sayyid Saalim hafidzahullah hal. 373/II terbitan Maktabah Tauqifiyah Mesir.

[3] Lihat Subuulus Salaam oleh Ash Shon’aniy Rohimahullah dengan tahqiq Muhammad Subhi Hasan Khollaaq hal.337/VII terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.

[4] Lihat Taudhihul Ahkaam oleh Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Alu Bassaam Rohimahullah hal. 89/VII terbitan Maktabah Asaadiy, Makkah Mukarromah,KSA

[5] Lihat Subuulus Salaam hal.337/VII.

[6] Lihat Taudhihul Ahkaam hal. 89/VII.

[7] Lihat Subuulus Salaam hal.337/VII.

[8] Lihat Taudhihul Ahkaam hal. 89/VII.

[9] Lihat Subuulus Salaam hal.337/VII.

[10] Lihat Taudhihul Ahkaam hal. 89/VII.

[11] Lihat Subuulus Salaam hal.337/VII.

[12] Lihat Taudhihul Ahkaam hal. 89/VII.

[13] Idem.

[14] Lihat Taudhihul Ahkaam hal. 89/VII.

[15] Idem hal. 90/VII. Lihat juga Subuulus Salaam hal.337/VII.

[16] Idem.

 

Tulisan Terkait

3 Comments ( ikut berdiskusi? )

  1. Desiwy Widyawaluyanda
    Apr 28, 2016 @ 17:05:03

    Bagus banget . Terima kasih ya atas infonya …. !

    Reply

  2. tri wijayanti
    Aug 11, 2018 @ 16:18:14

    jika kambing yg akan dikurbankan sedang terkena flu, apakah masih sah?

    Reply

Leave a Reply