Adab – Adab Puasa Yang Wajib

31 May

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Adab – Adab Puasa Yang Wajib

Alhamdulillah wa sholatu wa s alamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Tidak terasa Bulan Romadhon telah menemui kita. Bulan dimana Allah Subhana wa Ta’ala demikian memudahkan jalan seseorang menuju keridhoan dan surga Nya. Bulan yang merupakan tamu agung bagi para pencari surga.

Syaikh Prof. DR. ‘Abdur Rozzaq Hafizhahullah mengatakan[1],

“Bulan Romadhon merupakan tamu yang mulia nan agung bagi jiwa setiap orang yang beriman. Setiap mukmin tentu akan merasa benar-benar bahagia dengan tamu agung ini. Dia gembira dengan kedatangan tamu dan utusan yang mulia ini. Bagaiamana menurut anda jikalau seseorang yang mulia, senang berbuat derma dengan membagi-bagikan banyak sekali hadiah ketika seorang tamu yang memliliki kedudukan tinggi dan mulia datang menemuinya. Bagaimana persiapannya untuk menyambut tamu yang kedudukannya demikian ? Betapa bahagianya dia, dan bagaiaman kira-kira perlakuannya terhadap sang tamu ?”

Salah satu bentuk memuliakan tamu adalah dengan menunaikan hak-hak sang tamu yang sifatnya wajib. Berikut beberapa adab yang hukumnya wajib dalam bermuamalah dengan Bulan Romadhon.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah mengatakan,

[1]. “Diantara adab yang wajib ditunaikan oleh orang yang berpuasa adalah menegakkan ibadah yang Allah wajibkan baik berupa ibadah qouliyah atau pun fi’liyah. Diantara ibadah yang paling penting adalah sholat wajib (5 waktu) yang mana merupakan rukun Islam yang paling penting setelah 2 kalimat syahadat. Maka wajib memberikan porsi perhatian khusus untuk menjaganya, menunaikan syarat-syarat, rukun-rukun dan wajib-wajibnya, serta menunaikannya secara berjama’ah di mesjid-mesjid. Sebab hal itu sesungguhnya merupakan bagian dari taqwa yang mana taqwa inilah salah satu tujuan terpenting disyariatkannya dan diwajibkannya puasa atas seluruh ummat Islam. Menyia-nyiakan sholat termasuk hal yang meniadakan ketaqwaan dan sebab yang mendatangkan siksa. Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal sholeh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun”. (QS. Maryam [19] : 59-60)[2].

“Diantara orang yang berpuasa ada sebagian orang yang menganggap enteng urusan sholat berjamaah dan kewajiaban untuk mengerjakannya di mesjid. Padahal Allah telah memerintahkannya dalam Al Qur’an,

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata”. (QS. An Nisa [4] : 102)

Allah Ta’ala memerintahkan untuk sholat berjamaah pada saat perang dan ketakutan maka pada saat tenang (tidak ada perang –pen) tentulah lebih utama”.

“Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu,

أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ. فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ : فَأَجِبْ

“Seorang lelaki buta datang menemui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam dan bertutur, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku tidak punya penuntun yang dapat menuntunku ke mesjid. Lalu dia meminta Rosulullah agar memberikan keringanan untuk sholat di rumahnya saja. Lalu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikannya keringanan itu. Lalu tatkala lelaki buta itu telah berpaling dari beliau, beliau pun memanggilkanya dan bertanya, “Apakah engkau mendengar suara panggilan sholat (adzan) ?” Lelaki itu pun menjawab, “Iya”. Lalu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “(Jika demikian maka) jawablah panggilan itu (tunaikanlah sholat jamaah di mesjid –pen)”[3].

Namun beliau Shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan sholat berjamaah di mesjid kepada seorang yang buta dan tidak punya penuntun yang mampu menuntunnya. Orang yang meninggalkan sholat berjamaah di mesjid menyia-nyiakan kewajiban dan bersamaan dengan itu dia pun telah mencegah dirinya dari mendapatkan pahala yang sangat banyak. Sebab sholat berjamaah memiliki pelipatgandaan pahala yang banyak. Sebagaimana disebutkan dalam Shohihain dari hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Sholat berjamaah lebih utama dari pada sholat sendiri 27 kali lipat”[4].

Sungguh merugi orang yang berpuasa namun enggan sholat berjama’ah di mesjid. Coba para pembaca sekalian renungkan. Misalnya seseorang akan memberikan uang sebesar 1 Milyar rupiah kepada kita, lalu sebelum kita mengambil uang tersebut orang itu mengatakan, “Kalau anda mau mengambilnya bersamaan dengan orang lain di rumah saya maka uangnya akan saya lipatkan menjadi 27 Milyar”. Lantas masihkah kita memilih yang 1 juta ??!!

 

baca juga tulisan kami tentang sholat berjamah di mesjid di sini :

(https://alhijroh.com/fiqih-tazkiyatun-nafs/sholat-berjamaah-harus-di-mesjid-atau-boleh-di-rumah/)

Bersambung Insya Allah,

9 Romadhon 1439 H/ 25 Mei 2018

 

Aditya Budiman bin Usman

[1] Lihat Wa Ja’a Syahru Romadhon hal. 7 terbitan Darul Fadhilah, KSA

[2] Lihat Majalis Syahri Romadhon hal. 75-76 terbitan Mu’asasah Ibnu Utsaimin, KSA.

[3] HR. Muslim no. 653.

[4] HR. Bukhori no. 645, Muslim no. 650.

 

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply