1 Sep
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
10 Adab Kepada Saudara Muslim Yang Mulai Hilang
Part 2
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Melanjutkan artikel sebelumnya (klik di sini).
Keenam : menolak, mencegah diri dari menggibahinya
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As Sayyid Nadaa Hafizhahullah mengatakan,
“Hendaknya anda membelanya dari ghibahan pada saat dia tidak ada, membela kehormatannya pada saat dia tidak ada di sisimu.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
مَنْ ذَبَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ فِي الْغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya seagama dari ghibah maka hak/wajib bagi Allah atasnya agar membebebaskannya dari api neraka”[1].
Maka janganlah anda membiarkan kehormatan saudara anda tatkala dia sedang tidak ada. Bahkan cegahlah ghibat tersebut. Terlebih lagi janganlah anda menggunjingnya. Sesungguhnya itu merupakan haknya padamu. Maka saudara yang mulia tidak akan pernah menggibahi saudaranya selama-lamanya”[2].
Adab ini sungguh sangat langka kita dapati sekarang. Bahkan sangat akutnya penyakit ghibah ini hampir semua kalangan tidak aman darinya. Mulai dari orang fasik hingga orang yang dikenal ‘sholeh’. Nas’alullah salamah wal ‘afiyah.
Yang lebih baik dari sekedar mencegah ghibah darinya adalah menutup aib saudara seagama yang anda ketahui. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ سَتَرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فِي الدُّنْيَا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الْآخِرَةِ
“Barangsiapa siapa yang menutup aib seorang muslim di dunia maka Allah akan tutup aibnya di akhirat”[3].
Ketujuh : menolongnya karena Allah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As Sayyid Nadaa Hafizhahullah mengatakan,
“Maknanya hendaknya anda menolongnya baik ketika dia berbuat zholim atau dizholimi. Menolongnya ketika dizholimi adalah dengan membelanya hingga dia kembali mendapatkan haknya. Sedangkan menolongnya ketika dia berbuat zholim adalah dengan mencegahnya berbuat zholim serta mengembalikannya kepada kebenaran. Ini berdasarkan sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا قَالَ تَحْجُزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Tolonglah saudarmu yang zholim atau dizholimi”. Para shahabat bertanya, “Wahai Rosulullah, yang dizholim kami faham. Tetapi bagaimana menolong yang zholim ?” Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, “Engkau mencegahnya dari perbuatan zholimnya itulah cara menolongnya”[4].
Tidak boleh seorang muslim membiarkan saudaranya yang muslim ketika dia membutuhkan pertolongan dan pembelaan. Bahkan wajib baginya untuk bersegera menolong dan membelanya”[5].
Betapa indahnya bermasyarakat ketika kita mampu merealisasikan ini. Demikianlah al ‘amru bil ma’ruf nahyu ‘anil munkar kita hendaknya berlandaskan ingin menolong saudara kita dan tulus ikhlas.
Kedelapan : mendo’akan kebaikan untuknya karena Allah
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As Sayyid Nadaa Hafizhahullah mengatakan,
“Maknanya hendaklah anda mendo’akan kebaikan untuk saudara anda ketika anda berdo’a untuk diri anda sendiri pada saat dia tidak berada bersama anda. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidaklah seorang hamba yang muslim mendo’akan (kebaikan -pen) bagi saudaranya pada saat dia tidak bersamanya melainkan malaikat akan mengatakan, “Dan bagimu yang semisal dengan itu”[6].
Demikian juga sabda beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
دُعَاءُ الأَخِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ لاَ يُرَدُّ
“Do’a seorang saudara kepada saudaranya ketika dia tidak bersamanya adalah do’a yang tidak tertolak”[7].
Inilah diantara tanda yang paling agung yang menunjukkan tulusnya persaudaraan dan kecintaan. Karena tidak ada ruang bagi seseorang untuk riya, basa basi dan mencari muka serta yang semisal dengan itu”[8].
Kesembilan : memaafkan, memaklumi, berusaha memberikan udzur atas kekurangannya
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As Sayyid Nadaa Hafizhahullah mengatakan,
“Maknanya hendaknya anda memaafkan kekeliruan dan kesalahannya yang sederhana, memaafkannya jika dia melakukan kesalahan terhadap hakmu. Imam Syafi’i Rohimahullah mengatakan,
مَنْ صَدَّقَ فِيْ أُخْوَةِ أَخِيْهِ قَبِلَ عِلَلِهِ, وَ سَدَّ خَلَلِهِ, وَ غَفَرَ زَلَلَهُ
“Siapa yang hatinya tulus dalam persaudaraan kepada saudaranya adalah menerima kekurangannya, menutupinya dan memaafkannya”[9].
Makna ungkapan beliau (قَبِلَ عِلَلِهِ) adalah menerima kekurangannya berupa cacat pada diri saudaranya bersamaan dengan berusaha untuk memperbaikinya.
Makna ungkapan beliau (سَدَّ خَلَلِهِ) adalah menerima kekurangannya berupa cacat pada diri saudaranya bersamaan dengan berusaha bersungguh-sungguh untuk menyempurnakan kekeliruan dan cacar saudaranya.
Makna ungkapan beliau (غَفَرَ خَلَلِهِ) adalah berusaha memaafkan kesalahan dan kekeliruannya”[10].
Kesepuluh : memintakan ampunan untuknya
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi As Sayyid Nadaa Hafizhahullah mengatakan,
“Hendaklah anda memohonkan ampunan untuknya baik ketika dia masih hidup yang ini merupakan bukti tulusnya cinta. Maupun setelah dia wafat, baik ketika dia telah dikuburkan di perkuburannya atau di waktu apapun. Hendaklah anda mohonkan ampunan untuknya ketika anda mengingatnya. Sungguh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda setelah menguburkan salah seorang shahabatnya,
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ, فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, mohonkanlah keteguhan hati untuknya. Karena sesungguhnya sekarang di sedang ditanyai”[11].
Inilah indikator yang sangat jelas untuk hal tersebut. Maka seyogyanya seorang muslim untuk berusaha memiliki adab ini selamanya”[12].
Belum mampu ??!!
Mari simak sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
سَدِّدُوْا وَقَارِبُوا
“Berusalah mendekati…..”[13].
Mari berusaha melaksanakannya….
Fawaid dari Kajian Rutin Bersama Guru Kami Ustadz Rahmat Ghufron hafizhahullah.
Sigambal, setelah ‘Isya
13 Dzul Qo’dah 1436 H / 9 Agustus 2015 M
Aditya Budiman bin Usman
[1] HR. Ahmad no. 27650. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani Rohimahullah.
[2] Lihat Al Mausu’ah Al Adab Al Islamiyah hal. 65 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[3] HR. Ahmad no. 7929. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Arnauth Rohimahullah.
[4] HR. Bukhori no. 2443.
[5] Lihat Al Mausu’ah Al Adab Al Islamiyah hal. 65-66 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[6] HR. Muslim no. 2732.
[7] HR. Al Bazzar dalam Musnadnya no. 3577. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani Rohimahullah.
[8] Lihat Al Mausu’ah Al Adab Al Islamiyah hal. 68 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[9] Lihat Muqoddimah Al Majmuu’ Syarh Al Muhadzdzab hal. 31/I.
[10] Lihat Al Mausu’ah Al Adab Al Islamiyah hal. 71-72 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[11] HR. Abu Dawud no. 3221. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani Rohimahullah.
[12] Lihat Al Mausu’ah Al Adab Al Islamiyah hal. 72-73 terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[13] HR. Bukhori no. 6098, Muslim no. 7300.
Leave a Reply