Tafsir Surat Al Kahfi (1)

29 Mar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Tafsir Surat Al Kahfi (1)

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin yang telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam, istri-istri Beliau, Keluarganya, para Sahabatnya dan ummat Beliau yang senantiasa meniti jalannya dengan baik hingga hari kiamat.

Pada edisi kali ini kami akan mencoba Insya Allah untuk menyajikan tafsir surat Al Kahfi pada setiap hari kamis sehingga ketika kita membacanya di hari Jum’at lebih bisa mendapatkan manfaat dan mudah-mudahan termasuk dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْن

“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi di hari Jum’at maka ia akan mendapatkan cahaya diantara dua Jum’at”[1].

Surat Al Kahfi merupakan surat yang termasuk golongan surat Makkiyah. Walaupun sebagian ulama ahli tafsir mengecualikan sebagaian ayat-ayatnya. Diantaranya ayat 1-8, 28, 107-110 merupakan golongan surat Madaniyah. Akan tetapi pengecualian ini membutuhkan dalil khusus untuk menunjukkan hal itu. Sedangkan hukum asalnya surat golongan Makkiyyah merupakan surat Makkiyah seluruhnya, surat golongan Madaniyah termasuk golongan surat Madaniyah seluruhnya. Sehingga jika anda berpendapat adanya pengecualian sebagaimana pendapat di atas maka dibutuhkan dalil yang menunjukkannya.

Adapun surat Makkiyah adalah surat yang turun sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ke Madinah. Sedangkan surat Madaniyah adalah surat yang turun setelah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ke Madinah walaupun turunnya bukan di kota madinah semisal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian dan telah aku ridhoi islam sebagai agama bagi kalian”. (QS. Al Maidah [5] : 3)

Ayat ini turun di Arofah tahun dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melaksanakan hajji wada’ (haji perpisahan).

[Tafsir Surat Al Kahfi ayat 1-3]

Allah Azza wa Jalla berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2) مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا (3)

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal sholeh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya”. (QS. Al Kahfi [18] : 1-3)

Penjelasan Ayat

Firman Allah Ta’ala (الْحَمْدُ) merupakan shifat sesuatu yang dipuji (pujian) dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Maka dengan ini (الْحَمْدُ) tidak sama dengan (الْمَدْحُ) karena (الْمَدْحُ) tidak mengharuskan adanya kecintaan dan pengagungan. Bahkan dapat saja seseorang memuji seseorang namun yang dia inginkan sebenarnya adalah untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu yang dipuji atau menghindarkan dirinya dari bahaya sesuatu yang dia puji tersebut. Sedangkan (الْحَمْدُ) merupakan pujian yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan yang sempurna[2].

Firman Allah Ta’ala (لِلَّهِ), huruf lam di sini merupakan huruf lam istihqoq (milik untuk sesuatu yang absrtak)ed. (الله) merupakan nama Allah yang tidak boleh selainnya diberikan/dishifati dengan nama ini. (الله) merupakan nama Dzat Yang Disucikan Tabaroka wa Ta’ala.

Firman Allah Subhana wa Ta’ala (الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ) artinya yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran). Firman Allah ‘Azza wa Jalla (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ) apakah termasuk khobar yang Allah ingin mengabarkan bahwasanya sesungguhnya hambanya adalah seseorang yang terpuji atau bermakna insya’ (tuntutan) pengarahan bahwa kita memuji Allah karena hal ini (telah menurunkan Al Qur’an kepada hambanya) atau yang dimaksudkan adalah keduanya ? Maka jawabnya adalah keduanya yaitu merupakan khobar dari Allah dan petunjuk bagi kita untuk memuji Allah karena telah melakukan hal tersebut.

Firman Allah Subhana wa Ta’ala (عَبْدِهِ) : hambaNya, yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhana wa Ta’ala menyifati penghambaan (dalam Al Qur’an) dalam 3 hal :

  • Ketika menurunkan Al Qur’an kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana dalam ayat ini.
  • Ketika memberikan pembelaan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Qs. Al Baqoroh [2] : 23)

  • Ketika terjadi peristiwa Isro’. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Isro’ [17] : 1)

Maksudnya ketika Allah Subhana wa Ta’ala menyifati bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang hamba. Menjadi seorang hamba Allah merupakan kenikmatan tersendiri baginya. Sebagaimana syair yang diutarakan seorang yang tengah dimabuk kecintaan (kepada Allah)

             لَا تَدْعُنِيْ إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا                           فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِيْ

Janganlah kau panggil aku melainkan dengan sembutan hambaNya

Karena sesungguhnya itu adalah namaku yang paling mulia

Firman Allah Subhana wa Ta’ala (الْكِتَابَ) maksudnya Al Qur’an, disebut dengan kitab karena Al Qur’an adalah sesuatu yang ditulis, sesuatu yang dikumpulkan karena (salah satu) makna kitab adalah al jam’u yaitu sesuatu yang dikumpulkan. Oleh karena itu (orang Arab) menyebut al katibah (pasukan berkuda) yaitu kuda-kuda yang dikumpulkan.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla (وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا) yaitu Allah tidak menjadikan Al Qur’an ini bengkok bahkan dia adalah sesuatu yang lurus. Oleh karena itu lanjutan firman Allah Ta’ala (قَيِّمًا) merupakan hal (dalam istilah Bahasa Arab/bisa didekati dengan keterangan dalam Bahasa Indonesia) dari (الْكِتَابَ). Jika ada yang bertanya mengapa (قَيِّمًا) bukan shifat/na’at dari (الْكِتَابَ) padahal sama-sama mansub? Maka Jawabannya adalah karena (قَيِّمًا) nakiroh/tanpa alif lam dan (الْكِتَابَ) ma’rifat dengan alif lam. Makna (قَيِّمًا) adalah lurus dalam puncak kelurusan. Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan dengan cara penyampaian penafian/peniadaan kekurangan terlebih dahulu kemudian itsbat/penetapan kesempurnaan. Demikianlah seharusnya, menghilangkan bahaya/kekurangan dari suatu tempat terlebih dahulu kemudian meletakkan sesuatu yang baik/sempurna. Oleh karena itu ada pepatah arab (التَّخَلِّي قَبْلَ التَّحْلِيَةِ) bersihkan dulu kemudian hiasi, yaitu sebelum engkau menghiasi suatu tempat maka bersihkanlah dia dahulu dari yang mengganggunya. Firman Allah Ta’ala ini,

وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا

Wajib berhenti pada (عِوَجًا) karena jika disambung maka makna dari ayat akan bertentangan sehingga akan melahirkan makna Allah tidak menjadikan baginya kebengkokan yang lurus, dan ini jelas salah.

Kemudian di lanjutan ayat Allah Subhana wa Ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al Qur’an,

لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik”.

Dhomir yang terkandung pada (لِيُنْذِرَ) dapat kembali ke kata (عَبْدِهِ) dan ke kata (الْكِتَابَ), keduanya benar karena (الْكِتَابَ) yaitu Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan tujuan untuk memberi peringatan kepada beliau dan Al Qur’an itu sendiri juga merupakan peringatan yang dapat member peringatan kepada manusia.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla (بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ) : siksaan/adzab yang sangat pedih dari sisi Allah yakni dari Allah ‘Azza wa Jalla. (بَأْسًا) artinya adzab, sebagaimana pada firman Allah Ta’ala,

فَجَاءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتً

“Maka datanglah siksaan/adzab Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari”. (QS. Al A’rof [7] : 4)

نْذَار) maknanya yaitu kabar yang membuat takut.

Firman Allah Subhana wa Ta’ala (وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ) yaitu kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang beriman. Kita mendapati dalam ayat ini ada maf’ul/objek yang dihapus yaitu pada potongan ayat (لِيُنْذِرَ) namun pada potongan ayat berikutnya disebutkan maf’ulnya yaitu pada potongan ayat (وَيُبَشِّرَ) maka bagaimana kita mengetahui maf’ul pada potongan ayat (لِيُنْذِرَ) ? Maka jawabannya adalah kita dapat mengetahuinya dengan kebalikan dari maf’ul pada potongan ayat (وَيُبَشِّرَ). Pada potongan ayat ini maf’ulnya adalah (الْمُؤْمِنِينَ) maka maf’ul pada potongan ayat (لِيُنْذِرَ) adalah (الكَافِرِيْنَ). Maka ini adalah salah satu kaidah/fawaid dalam ilmu tafsir (أَنَّ الشَّيْءَ يُعْرَفُ بِذِكْرِ قُبَيْلِهِ الْمُقَابِل لَهُ) “Sesungguhnya sesuatu itu dapat diketahui dari penyebutan sesuatu yang berada sangat dekat darinya yang berkebalikan maknanya”.

Firman Allah Ta’ala (الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ) “orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal sholeh”. Ayat ini mengandung faedah bahwa iman itu seharusnya disertai dengan amal sholeh. Oleh karena itulah sebagian para salaf[3] mengatakan, (أَلَيْسَ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ ؟” يَعْنِي فَمَنْ أَتَى بِهِ فُتِحَ لَهُ! قَالَ: بَلَى، وَلَكِنْ هَلْ يَفْتَحُ الْمِفْتَاحُ بِلَا أَسْنَان؟) “Bukankah Kalimat Laa Ilaaha Illallah merupakan kunci surga ? –yang dimaksudkan adalah barang siapa yang membawa kalimat Laa Ilaaha Illallah maka surga akan dibukakan untuknya !” Beliau berkata, “Benar, namun bukankah setiap kunci memiliki gerigi ?”

Firman Allah Subhana wa Ta’ala (الْمُؤْمِنِينَ) yaitu orang-orang yang beriman dengan hal yang wajib diimani. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan hal yang wajib diimani kepada kepada Malaikat Jibril ‘alaihis salam ketika dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang apa itu iman ? Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّه

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, Hari Akhir dan engkau beriman terhadap takdir yang baik dan buruk”[4].

Firman Allah ‘Azza wa Jalla (الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ) yaitu orang-orang yang beramal sholeh, kapan sebuah amalan dikatakan amal sholeh ? Maka jawabnya adalah suatu amal tidaklah dapat dikatakan menjadi sebuah amalan sholeh melainkan harus memenuhi dua syarat :

  1. Ikhlas kepada Allah Subhana wa Ta’ala yaitu orang yang beramal haruslah melaksanakan amalannya karena Allah dan tidak karena selainNya.
  2. Mutaba’ah/mencontoh kepada syari’at Allah, yaitu amalan tersebut tidak keluar dari syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Sebuah hal yang sudah diketahui bersama bahwa Syari’at-syari’at nabi terdahulu terhapus setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan syari’atnya. (tentang masalah ini silakan lihat di http://alhijroh.com/aqidah/syarat-diterimanya-ibadah/)

Kebalikan dari ikhlas adalah syirik dan kebalikan dari mutaba’ah adalah bid’ah. Oleh karena itu ibadah yang bid’ah tidak akan diterima Allah walaupun dihiasi sedemikian indah dan memberikan rasa khusyuk yang luar biasa pada pelakunya karena ibadah bid’ah tidak bersesuaian dengan Syari’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga barang siapa yang beramal dengan sebuah amalan yang sesuai dengan syari’at namun terdapat riya’ (syirik kecil) maka ibadahnya tidak akan Allah terima.

Firman Allah Ta’ala (أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2) مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا) “Mereka akan mendapat balasan yang baik. mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya”. (أَجْرًا) maksudnya adalah (ثَوَابًا) balasan, Allah menyebut (ثَوَابًا) dengan (أَجْرًا) balasan adalah karena dia adalah kompensasi dari amal yang mana hal ini merupakan perwujudan dari shifat Adil Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga Allah sebut dengan (أَجْرًا) dengan (ثَوَابًا) karena dengan ganjaran/balasan dari Allah maka pelaku amal/orang yang patuh dengan perintah Allah akan mendapatkan hadiah dari Allah hingga tenanglah hatinya karena mendapat ganti dari Allah berupa ganjaran/pahala berupa surga.

Firman Allah Ta’ala (حَسَنًا) maksudnya adalah yang terbaik bukan hanya sekedar baik karena tidaklah diragukan bahwasanya surga adalah sebaik-baik balasan/ganjaran dari Allah.

Firman Allah Ta’ala (مَاكِثِينَ فِيهِ أَبَدًا) maksudnya adalah mereka kekal di surga selamanya. Ketahuilah bahwa aqidah Ahlus Sunnah wal Jam’ah, sesungguhnya surga sudah ada dan abadi. Demikian juga dengan neraka sudah ada dan abadi. Karena terdapat di dalam ayat-ayat Al Qur’an penyebutan kekalan bagi penghuni surga (ashabul yamin) dalam banyak ayat demikian juga dalam penyebutan bagi penghuni neraka (ashabul syimal), diantaranya :

  1. Dalam surat An Nisa,

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا (168) إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (169)

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka. kecuali jalan ke neraka Jahannam mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. An Nisa’ [4] : 168-169)

 

Demikian juga dalam ayat lainnya,

إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا (64) خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong”. (QS. Al Ahzab [37] : 64-65)

Demikian juga dalam ayat lainnya,

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا

“Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya”. (QS. Al Jin [72] : 23)

Demikian juga diantara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah surga dan neraka dua mahluk Allah dan keduanya telah ada dan abadi karena Allah menyebutkan,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (QS. Al Baqoroh [2] : 24)

Demikan juga dalam ayat lainnya,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِين

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali ‘Imron [3] : 133)

[Diringkas dari Kitab Tafsir Surat Al Kahfi oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 7-12 terbitan Dar Ibnul Jauzi Riyadh, KSA]

 

Sigambal, Setelah Isya’ 05 Jumadil ‘Ulaa 1433 H / 26 Maret 2012 M

Aditya Budiman bin Usman

-yang mengharap ampunan Robbnya-



[1] HR. Nasa’i no. 10788, Al Baihaqi dalam Asy Syua’ab no. 2446 dan lain-lain, dinilai shohih oleh Al Albani di Shohihul Jami’ no. 6470

[2] Pujian yang semacam inilah yang bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dan apabila diberikan kepada selainNya maka pelakunya telah melakukan perbuatan syirik dalam ibadah dan dia harus bertaubat darinya. (ed.)

[3] Yaitu Wahab bin Munabbih rodhiyallahu ‘anhu

[4] HR. Muslim no. 1 dan 8.

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply