2 Oct
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, Semoga sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Nabi akhir jaman Muhammad Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Islam adalah agama yang sempurna dan satu-satunya agama yang diridhoi Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [Al Maidah [5] : 3].
Demikian juga firman Allah ‘Azza wa Jalla :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah hanyalah Islam”. [Ali ’Imron [3] : 19].
Diantara hal yang menunjukkan sempurnanya ajaran islam adalah adanya ‘amalan-amalan sunnah yang sesuai dengan fitroh manusia, sebagaimana sabda Nabi yang mulia Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha :
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh hal yang termasuk dalam fitroh : memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq[1], memotong kuku, membasuh ruas-ruas jari, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan, istinja’ dan Mush’ab berkata dan yang kesepuluh saya lupa, tetapi mesti berkumur-kumur”.[2]
Namun dalam tulisan kali ini kita hanya akan membahas siwak dan mewarnai uban.
Al ‘Amir Ash Shon’ani rahimahullah mengatakan dalam Subulus Salam : “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”[3].
Hukum menggunakan siwak adalah sunnah menurut jumhur ulama, dan menurut sebagian pendapat ulama yang lain hukumnya adalah wajib[4]. Sedangkan penulis Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Alu Bassam rahimahullah mengatakan : “Hukumnya adalah sunnah yang ditekankan ketika berwudhu dan pahalanya mendekati pahala perkara-perkara yang hukumnya wajib”[5].
Sedangkan rinciannya adalah sebagai berikut[6] :
- Hukumnya sunnah yang ditekankan ketika berwudhu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sahabat Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ وُضُوءٍ
“Sekiranya tidak memberatkan bagi manusia sengguh akan aku perintahkan bersiwak dalam setiap berwudhu”[7].
- Hukumnya sunnah yang ditekankan ketika hendak sholat, berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Sekiranya tidak memberatkan bagi manusia sengguh akan aku perintahkan bersiwak dalam setiap (hendak, pent.) sholat”[8].
- Hukumnya sunnah yang ditekankan ketika hendak membaca Al Qur’an, berdasarkan hadits Nabi Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam :
عَنْ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اَمَرَنَا بِالسِّوَاكِ وَقَالَ :” إِنَّ العَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ المَلَكٌ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ القُرْآنَ وَ يَدْنُوْ ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَ يَدْنُو حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ أَيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ المَلَكِ”
Dari sahabat ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Dia berkata, “Sesungguhnya seorang hamba jika dia berdiri untuk sholat maka datanglah kepadanya malaikat kemudian dia berdiri di sebalahnya mendengarkan Al Qur’an yang dibacakannya dan mendekat kepadanya, tidaklah malaikat berhenti mendengarkannya dan mendekatinya hingga dia menempelkan mulutnya ke mulut orang tersebut sehingga tidaklah ada yang Al Qur’an dibaca orang tersebut kecuali akan masuk ke tenggorokannya”
Sisi pendalilannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied yang dikutip oleh Ash Shon’ani –rahimahumallahu– di Subulus Salam, Beliau –rahimahullah- mengatakan, “sesungguhnya kita diperintahkan dalam setiap keadaan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah hendaknya kita dalam keadaan bersih yang sempurna dalam rangka memuliakan ibadah, pendapat lain mengatakan sesungguhnya hal itu[9] dikaitkan dengan adanya malaikat yang dia menempelkan mulutnya ke mulut orang yang membaca (Al Qur’an, pen.)dan (akan) menyakiti malaikat dengan bau nafas yang tidak enak, oleh karena itu disunnahkan untuk bersiwak”[10].
- Hukumnya sunnah yang ditekankan ketika hendak masuk kerumah, berdasarkan sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya :
سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ
“Aku bertanya kepada ’Aisyah, perbuatan apakah yang biasa dilakukan Nabi ketika hendak masuk ke rumahnya? Dia mengatakan, “Dengan bersiwak”[11].
- Hukumnya sunnah yang ditekankan ketika hendak sholat malam, berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sahabat Hudzaifah rodhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ لِلتَّهَجُّدِ مِنْ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam jika hendak malaksanakn sholat tahajjud di malam hari Beliau membersihkan mulutnya dengan bersiwak”[12].
Demikianlah rincian hukum bersiwak secara ringkas, adapun untuk hukum mengubah warna uban dan jenggot rinciannya adalah sebagai berikut, akantetapi sebelumnya alangkah baiknya jika kita sampaikan dulu larangan mencabut uban dalam islam, sebagaimana yang sabda Rasul yang Mulia, Muhammad Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya, dia berkata, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
لاَ تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الإِ سْلاَمِ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah kalian mencabut uban, tidaklah seorang muslim yang rambutnya beruban dalam keadaan islam kecuali uban tersebut akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat”[13].
Jika larangan ini telah dipahami maka kita akan mulai masuk ke dalam pembahasan rincian secara ringkas dalam mewarnai uban,
- disunnahkannya mewarnai uban dan jenggot, sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Sesunguhnya orang-orang yahudi dan nashrani tidak mau mengubah warna (uban & jenggot) maka selisihilah mereka”[14].
- Namun terlarang menggunakan warna hitam untuk mewarnai uban dan jenggot sebagaimana sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sahabat Jabir rodhiyallahu ‘anhu :
أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Abu Qufafah datang dengan rambut dan jenggot yang berwarna putih bagiakan bunga yang berwarna putih pada hari penaklukan kota mekah, kemudian Rasululla Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan : “Ubahlah warna uban dan jenggotmu ini namun tidak dengan warna hitam”[15].
- Pewarna yang dianjurkan dalam islam untuk digunakan dalam mewarnai jenggot dan uban adalah inai dan katam, sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Abu Dzar rodhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غُيِّرَ بِهِ الشَّيْبُ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَم
“Sesungguhnya sebaik-baik pewarna yang digunakan mengubah warna uban adalah pohon pacar (inai) dan katam[16]”[17]
Demikianlah uraian singkat tentang hukum seputar siwak dan mewarnai uban yang termasuk dalam perkara-perkara yang disunnahkan dan sesuai fitroh. Mudah-mudahan tulisan singkat ini bermanfaat bagi penulis dan kaum muslimin, Allahu A’lam.
Ketika gelap menyelimuti malam,
Aditya Budiman
[Yang Sangat Membutuhkan Ampunan Robbnya]
[1] Memasukkan air ke hidung.
[2] HR. Muslim no. 384, Ahmad no. 23909, Abu Dawud no. 49, At Tirmidzi no. 2681, Ibnu Majah no. 289.
[3] Lihat Subulus Salam Al Maushulatu ila Bulughil Maroom oleh Al Amir Ash Shon’ani rahimahullah dengan tahqiq dari Muhammad Subhi Hasan halaq hal. 175/I terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, KSA.
[4] Lihat sumber sebelumnya, hal. 176/I.
[5] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom hal. 195/I terbitan Maktabah Asadi, Mekah
[6] Rincian ini kami sarikan dari Kitab Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz oleh Syaikh Abdul Azhim Al Badawi hafidzahullah hal. 31-32 terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir.
[7] Lihat Shahih wa Dhoiful Jami’ush Shoghir no. 9448, dan hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani.
[8] HR. Bukhori no. 887, Muslim no. 252, Malik no.148, Ahmad no. 7364, An Nasa’i no. 197/II, Ibnu Khuzaimah.
[9] Maksudnya bersiwak ketika hendak sholat, pen.
[10] Lihat Subulus Salam Al Maushulatu ila Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rahimahullah dengan tahqiq dari Muhammad Subhi Hasan Hallaq hal. 176/I terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, KSA.
[11] HR. Muslim no. 371, An Nasa’i no. 8.
[12] HR. Bukhori no. 1068, Muslim no. 374.
[13] HR. Abu Dawud no. 3670, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahih wa Dhoiful Jami’ush Shoghir no. 13420.
[14] HR. Bukhori no. 3203, Muslim no. 3926 dan lain-lain.
[15] HR. Muslim no. 3924, Abu Dawud no. 3672, An Nasa’i no. 4989.
[16] Katam adalah tumbuhan yang biasa hidup di daerah pegunungan dimana kalau daunnya ditumbuk akan menghasilkan warna merah.[lihat terjemah Al Wajiz hal. 73 terbitan Pustaka Darus Sunnah, Jakarta Timur]
[17] HR. Tirmidzi no. 1675, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shohih wa Dhoif Sunan Tirmidzi.
2 Comments ( ikut berdiskusi? )
Leave a Reply
Oct 12, 2009 @ 23:42:32
Assalamu’alaikum,
Semoga Allah selalu memberkahi ilmu pada antum.
Coba jabarkan sekali lagi, apakah memang siwak hanya dibatasi dengan kayu. Ataukah yang dimaksud dengan keutamaan bersiwak di atas boleh juga dengan pasta gigi.
Semoga Allah selalu menjaga antum.
Nov 11, 2009 @ 18:34:02
Alaikumussalam…jazakumullah atas do’anya.
keutamaan yang didapat pada siwak tidak bisa digantikan dengan pasta gigi.
bisa dilihat di syarhul Mumthi’ karya syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin