Jika Telah Masuk Romadhon Berikutnya Namum Masih Belum Mengganti

17 Jul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Jika Telah Masuk Romadhon Berikutnya Namum Masih Belum Mengganti

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Telah berlalu penjelasan bagaimana hukuman (klik di sini) dan ‘apakah orang yang berbuka tanpa udzur apakah dia mendapatkan kewajiban mengqodho’/mengganti puasanya atau tidak (klik di sini).

Maka pada kesempatan ini akan kita ketengahkan pembahasan, apakah mengqodho’/mengganti puasa itu harus segera atau longgar ?

Mengqodho’/mengganti puasa Romadhon yang terlewat karena adanya udzur syar’i tidak wajib[1] dilakukan segera. Melainkan kewajiban mengqodho’/menggantinya boleh dilakukan kapan saja karena waktunya luas. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

 “Dahulu aku memiliki kewajiban/hutang Puasa Romadhon. Namun aku tidak mampu mengqodho’/menggantinya melainkan hingga tiba Bulan Sya’ban. Hal ini terjadi karena aku disibukkan dengan Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam[2].

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy Rohimahullah mengatakan di Al Fath hal. 191/IV,

وفي الحديث دلالة على جواز تأخير قضاء رمضان مطلقا سواء كان لعذر أو لغير عذر

“Pada hadits ini terdapat dalil yang membolehkan mengakhirkan mengqodho’/mengganti puasa Romadhon secara muthlaq, baik karena adanya udzur untuk mengakhirkannya atau tidak ada”.

Namun walaupun demikian dianjurkan hukumnya untuk menyegerakannya, karena Allah Subhana wa Ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”. (QS. Al Mu’minun [23] : 61)

[Lalu Bagaimana Jika Telah Masuk Romadhon Berikutnya (?) ]

Sebagian ulama berpendapat, apabila seseorang menunda menunaikan mengqodho’/mengganti puasa Romadhon hingga masuk Romadhon yang baru, maka dia tetap melaksanakan puasa Romadhon yang baru. Jika telah masuk bulan Syawal (telah berlalu ‘Idul Fithri) maka ia mengqodho’/mengganti puasa Romadhon yang sebelumnya sebanyak bilangan yang ia tinggalkan saja tanpa perlu memberi makan orang miskin ataupun selainnya. Karena tidak di dapatkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang shohih tentang hal ini. Inilah pendapatnya Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm Rohimahumallah.

Diantara para ulama sekarang yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah. Beliau mengatakan,

أنه لا يلزمه أكثر من الصيام الذي فاته إلا أنه يأثم بالتأخير

“Sesungguhnya tidak wajib baginya mengganti puasa yang tertinggal melainkan sejumlah yang ia tinggalkan namun ia mendapatkan dosa karena telah mengakhirkannya[3].

Adapun ulama lainnya berpendapat bahwa wajib baginya mengganti sebanyak hari yang ia tinggalkan dan ditambah dengan memberi makan orang miskin 1 mud dikali sebanyak hari yang ia tinggalkan. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i Rohimahumallah. Sedangkan ulama sekarang yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Syaikh Ibnu Baaz Rohimahullah.

Sebagian ulama lainnya ada yang berpendapat bahwa yang wajib adalah hanya memberi makan orang miskin saja tanpa mengganti puasanya. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan,

ذهب بعض أهل العلم إلى أنه إذا أخره إلى ما بعد رمضان الثاني بلا عذر وجب عليه الإطعام فقط ولا يصح منه الصيام

“Sebagian ulama berpendapat yang wajib bagi orang yang mengakhirkannya hingga menemui Romadhon berikutnya adalah memberi makan orang miskin saja, jika ia menggantinya dengan berpuasa maka puasanya tidak sah”[4].

Namun beliau Rohimahullah menguatkan pendapat yang mengatakan wajib menggantinya dengan puasa tanpa disertai memberi makan orang miskin. Pendapat inil juga dinilai kuat oleh Penulis Shohih Fiqih Sunnah[5]. Pendapat inilah yang lebih tepat. Allahu a’lam.

 

Aditya Budiman bin Usman

-yang mengharap ampunan Robbnya



[1] Perlu ditegaskan, yang disebutkan adalah tidak wajib, maka bukan berarti ini yang terbaik. Hal ini perlu kami ingatkan sekali lagi agar kita terhindar dari sikap terlalu bermudah-mudah.

[2] HR. Bukhori no. 1950, Muslim no. 1146.

[3] Lihat Syarhul Mumthi’ hal. 259/III, terbitan Al Kitab Al ‘Alami, Beirut.

[4] Idem.

[5] Hal. 129/II.

 

Tulisan Terkait

Leave a Reply