22 Jan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Hukum Membuat Sutroh dan Batasannya
Segala puji kita haturkan kepada Allah Subhana wa Ta’ala Dzat Yang Maha Hikmah dan ilmuNya meliputi segala sesuatu. Sholawat serta salam semoga senantiasa terhatur kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kepada, istri-istri, keluarga, sahabat dan umat beliau.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah pernah ditanya sebuah pertanyaan
Pertanyaan :
ما حكم السترة؟ وما مقدارها؟
Apa Hukumnya Membuat Sutroh (Pembatas) dan Apa Batasannya
فأجاب فضيلته بقوله: السترة في الصلاة سنة مؤكدة إلا للمأموم، فإن المأموم لا يسن له اتخاذ السترة اكتفاءً بسترة الإمام.
فأما مقدارها فقد سئل النبي صلى الله عليه وسلم عنها فقال: “مثل مؤخرة الرحل”.
لكن هذا أعلاها ويجزئ ما دون ذلك فقد جاء في الحديث: “إذا صلى أحدكم فليستتر ولو بسهم”. وجاء في الحديث الآخر الذي رواه أبو داود بإسناد حسن “أن من لم يجد فليخط خطاً. قال الحافظ ابن حجر في بلوغ المرام : لم يصب من زعم أنه مضطرب، فالحديث ليس فيه علة توجب رده. فنقول: أقلها خط، وأعلاها مثل مؤخرة الرحل.
Jawab :
“Sutroh di dalam sholat hukumnya sunnah mu’akkadah (anjuran yang dikuatkan) kecuali bagi makmum. Karena makmum tidaklah disunnahkan/dianjurkan membuat sutroh karena sutroh imam telah mencukupi bagi makmum.
Adapun batasannya adalah maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah ditanya tentangnya, kemudian beliau bersabda,
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
“Jika salah seorang dari kalian meletakkan di depannya sesuatu setinggi ‘ekor pelana’ kemudian dia sholat maka tidak mengapa jika ada orang yang berlalu lalang di depannya”[1].
Akan tetapi ini adalah batasan maksimal dan sah jika tidak setinggi itu. Karena telah terdapat hadits,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ وَلَوْ بِسَهْمٍ
“Jika salah seorang kalian sholat maka hendaklah ia membuat sutrohnya walaupun dengan anak panah”[2].
Terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan,
أَنَّ مَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا
“Barangsiapa yang siapa yang tidak mendapatkan (sutroh lainnya) hendaklah ia membuat garis”[3].
Al Hafidz Ibnu Hajar Rohimahullah mengatakan di Bulughul Marom[4], “Tidak benar orang yang mengira hadits ini mudhtorib (guncang, termasuk hadits lemah). Hadits ini tidak ada padanya cacat yang mewajibkan kita untuk menolaknya. Maka kami berpendapat batasan minimalnya adalah garis dan maksimalnya adalah setinggi ‘ekor pelana’”[5].
Aditya Budiman bin Usman (Semoga Allah menjauhkan kami dari api neraka)
[1] HR. Muslim no. 499.
[2] HR. Ibnu Khuzaimah no. 811, Ahmad no. 15340. Hadits ini dinilai hasan oleh Al Arnauth Rohimahullah.
[3] HR. Abu Dawud no. 943. Hadits ini dinilai dhoif oleh Al Albani dan Al Arnauth namun hadits ini dinilai Hasan oleh Syaikh ‘Abdullah Al Bassam Rohimahumullah.
[4] Lihat Subulu As Salaam oleh Ash Shon’ani hal. 121/II terbitan Dar Ibni Al Jauziy Riyadh, KSA.
[5] Lihat Fataawaa Arkan Al Islam hal. 343.
Leave a Reply