27 Jun
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Awal Romadhon (Melihat Hilal VS Hisab)
Segala puji hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya kepadaNya kita memuji, meminta tolong, memohon ampunan, bertaubat dan memohon perlindungan atas kejelekan-kejelekan diri dan amal-amal yang buruk. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberikannya hidayah taufik. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan tiada sekutu baginya. Aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hambaNya dan utusanNya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya ridwanulloh ‘alaihim jami’an.
Bulan Romadhon adalah bulan yang sangat mulia kedudukannya di dalam islam. Diantara kemuliaan bulan ini adalah Allah jadikan sebuah amalan yang sangat mulia di sisiNya dan menjadi sebab mulianya kedudukan seorang hamba di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Puasa Romadhon.
Diantara permasalahan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah mereka dibingungkan dengan kapankah kita mulai berpuasa. Dengan kata lain bagaimanakah cara penentuan tanggal 1 Romadhon yang benar, dengan hisab atau dengan melihat hilal. Nah untuk itulah kami sajikan pembahasan mengenai hal itu secara ringkas.
Pertama, setiap muslim dan muslimah memiliki kewajiban jika mereka berselisih pendapat mengenai agama mereka maka wajiblah bagi mereka mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan tersebut kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [ QS. An Nisa’ (4) : 59]
Jika kita menyepakati hal di atas maka barulah kita akan beranjak ke masalah yang menjadi topik bahasan kita. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam telah bersabda mengenai hal ini sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ -غُمِّىَ- عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena telah melihat hilal (Romadhon) dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena telah melihat hilal (Syawal). Maka jika pandangan kalian tertutupi ketika melihat hilal maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari”[1].
Jika kita jeli melihat hadits ini maka jelaslah masalahnya, karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dengan tegas mengatakan (لِرُؤْيَتِهِ) “karena telah melihat hilal (Romadhon)”. Demikian juga Beliau shollallahu ‘alaihi was sallam juga mengatakan, (غُبِّىَ -غُمِّىَ-) “Jika pandangan kalian tertutupi”. Kemudian sabda beliau, (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ) “maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Dari hal ini jelaslah bahwa cara menentukan awal romadhon telah ditentukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam yaitu dengan melihat hilal sedangkan apabila hilal tidak terlihat karena tertutup awan mendung misalnya maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari dan bukan dengan metode hisab.
Sebagai penutup tulisan yang amat singkat ini kami sampaikan firman Allah Subahanahu wa Ta’ala yang berisi ancaman bagi orang yang menyelisihi perintah NabiNya shollallahu ‘alaihi was sallam,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintanya (Allah dan RosulNya[2]) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. [ QS. An Nuur (24) : 63]
Sigambal, 25 Juni 2011
Aditya Budiman bin Usman
[1] HR. Bukhori No. 1909, Muslim No. 1081.
[2] Lihat Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahalliy dan Abdurrohman bin Abu Bakr As Suyuthiy dengan tahqiq Syaikh Shofiyurrohman Al Mubarokfuriy hal. 370 terbitan Darus Salam, Riyadh, KSA.
10 Comments ( ikut berdiskusi? )
Leave a Reply
Aug 31, 2011 @ 16:10:57
MELIHAT hilal (Romadhon)& MELIHAT hilal (Syawal)
menurut pemikiran saya arti kata MELIHAT adalah
suatu perintah dari Rasulullah SAW agar kita mengetahui datangnya tanggal 1 romadhon/syawal.
jadi kita di diminta berpuasa pas saat MASUK 1 romadhon dan merayakn hari kemenangan saat MASUK 1 syawal.
a.
apabila dengan metode Melihat Hilal di JAMAN MODERN saat ini:
1.kemungkinan besar Hilal tidak terlihat (akibat GLOBALWARMING)
2.kemungkinan berpuasa/berlebaran tidak pas saat tanggal 1 romadhon/syawal.
(menurut saya ini membuat ragu)
b.
apabila dengan metode Hisab dg alat2 di JAMAN MODERN saat ini:
1.kemungkinan besar Kemunculan hilal dapat ditentukan dengan tepat.
2.kemungkinan besar berpuasa/berlebaran pas saat tanggal 1
romadhon/syawal.
3.kita mengaplikasikan hadist tentang ilmu:
” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
(Shahihul Jami’ 3913)
(saya lebih condong ke sini)
Wallahualam bi shawab
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Al Mujadalah:11)
subhnallah
Sep 09, 2011 @ 02:50:55
Ingat Metode Rosululloh Shollallahu Alaihi wa Sallam adalah metode terbaik karena langsung mendapat wahyu dari Pencipta Alam Semesta dan Dzat Yang Maha Mengetahui. Beliau mengajarkan dengan melihat hilal bukan hisab. Sehingga alasan anda kurang bs kita terima. Selanjutnya tentang ilmu yang anda singgung di atas maka tafsirnya adalah ilmu agama bukan ilmu hisab (http://alhijroh.com/aqidah/ilmu-dunia-atau-ilmu-akhirat/)…Allahu A’lam.
Jul 17, 2012 @ 10:02:10
Assalaamu’alaikum Ustadz,
jika ada pihak yang berani disumpah telah melihat hilal dan melaporkannya ke pemerintah, tetapi pemerintah mengabaikannya dan hanya merujuk kpd pihak mayoritas yg tdk melihat halal, bagaimana sebaiknya kita bersikap.
1. Apakah tetap mengikuti pemerintah?
2. Apakah berpuasa atau berhari raya secara diam2 seperti pendapat Imam Syafii?
3. Jika mengikuti salah satu pendapat,apakah tetap sah puasa atau hari raya yg dijalaninya mengingat hadits”…ijtihad hakim jika salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat 2 pahala?
Jazakallaahu khoiron katsiiro
Jul 18, 2012 @ 02:35:53
Alaikumussalam warohmatullah.
pertama yang perlu dipahami sebenarnya yang menjadi saksi melihat hilal atau tidak adalah orang yang adil (bagus agamanya). jika melihat apa yang mas herbono sampaikan maka yang lebih tepar adalah tetap mengikuti apa yang di tetapkan ulil amri (pemerintah). hal ini sebagaimana yang disampaikan dan juga hadits Nabi Shollallahu alaihi wa sallam,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari puasa kalian adalah hari dimana kalian semuanya berpuasa, hari raya kalian adalah hari dimana kalian semuanya berhari raya dan hari menyembelih/idul adha kalian adalah hari dimana kalian semua menyembelih”. (HR. Abu Dawud no. 2324 dan lainnya. Hadits ini dishohihkan oleh Al Albani Rohimahullah.).
Allahu a’lam.
waiyyak. barakallah fik
Jul 18, 2012 @ 06:39:58
Afwan ustadz,
1. Bagaimana dgn ijtihad Imam Syafi’i yg menyarankan utk berpuasa/berhari raya secara diam2. Apakah ijtihadnya salah atau ia berdosa? Dan bagaimana pula dgn org2 yg mengikuti ijtihad beliau?
2. Perihal kriteria ulil amri, apakah ulil amri yang ada di negara kita sudah memenuhi kriteria sebagaimana hadits berikut:
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ
”Barangsiapa membaiat seorang imam lalu memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaati imam itu sekuat kemampuan dia…” (HR Muslim, no 1844). (Muqaddimah Ad Dustur, 1/139)
3. Apa saja kriteria yg harus dimiliki oleh ulil amri menurut syariat?
4. Jika ulil amri di suatu negara tdk memenuhi salah satu kriteria yg sesuai syariat, apakah segala keputusan mereka wajib ditaati?
jazakallaahu khoiron katsiiro
Jul 19, 2012 @ 00:58:36
Imam syafi’i adalah imam besar dalam sejarah ummat islam. Ijtihad beliau Insya Allah berpahala dan mendapat 2 pahala jika itjtihadnya benar namun jika keliru maka beliau mendapatkan 1 pahala. Sedangkan orang-orang setelah beliau maka apabila dia mengikuti pendapat imam syafi’i karena dia merasa dalil-dalil yang dibawakan imam Syafi’i lebih kuat maka tidak berdosa dan perkaranya di sisi Allah. Allah lah yang menilai. Yang terlarang adalah mengikuti apa yang beliau katakan tanpa memandang dalil yang dibawakan atau yang disebut taklid buta. Padahal beliau sendiri melarang kita untuk taqlid buta seperti ini.
( إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت ) . ( وفي رواية ( فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد )
Jika kalian mendapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi hadits/petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka katakanlah dengan apa yang ada pada hadits/petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tinggalkanlah perkataanku. Dan dalam sebuah riwayat lain. Maka ikutilah hadits/petunjuk tersebut dan jangan perhatikan perkataan seorangpun selainnya. (Al Majmu’ an Nawawi hal 63/I)
Salah satu kriteria penting dalam masalah taat kepada ulil amri/pemerintah adalah selama dia tidak melakukan kekufuran yang ‘bawwah’/jelas dan kita punya bukti yang jelas dari Allah tentang kekafirannya (lihat Syarh Aqidah washityah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 516 cet. Dar Ibnu Jauzi). Sehingga selama mereka tidak demikian walaupun dholim, melakukan maksiat maka tetap taat kecuali dalam maksiat kepada Allah dan Rosul Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan patuh (kepada penguasa) terhadap perkara yang sukai atau benci. Jika diperintahkan untuk bermaksiat maka tidak ada mendengar dan taat. (HR. Bukhori no. 2955 dan Muslim no. 1839)
Allahu a’lam
Jul 19, 2012 @ 02:20:55
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh Ustadz,
Sukron atas penjelasannya. Namun ada yg masih belum saya pahami saat ustadz mengatakan”…selama mereka (pemerintah) tidak demikian walaupun dholim, melakukan maksiat maka tetap taat kecuali dalam maksiat kepada Allah dan Rosul Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Bukankah segala kedholiman dan kemaksiatan terhapa mahluk berarti juga kemaksiatan kpd Allah?
Satu lagi pertanyaan saya Ustadz:
Ketua MUI pagi ini mengatakan bhw ruqyah/melihat hilal di Indonesia dgn acuan di atas 2 derajat. Jadi, walaupun hilal tampak tetapi dibawah 2 derajat, maka tetap tdk diakui. Bagaimana melihat hilal di zaman Rasulullah? Adakah metode pemerintah dan MUI (di atas 2 derajat) merujuk kpd metode yg dicontohkan Rasulullah? Jika tdk ada keterangan ttg hal tsb.,apakah kita masih perlu taat kpd pemerintah? Jazakallaahu khoiron katsiiro
Jul 19, 2012 @ 02:51:10
’alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakaatuh
maksudnya (pemerintah kita) memerintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak boleh taat.
masih tetap harus taat. wa iyyak.
Allahu a’lam
Dec 01, 2013 @ 11:08:24
pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam