Fawaid dari kitab Tahzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah [5]

27 Feb

Topik Bahasan Kedua

Kekhususan Aqidah Al Islamiyah

Kekhususan-kekhususan (الخصائص) merupakan bentuk jama’ dari kekhususan (الخصيصة).

Kekhususan-kekhususan (الخصائص) merupakan sebuah karakter baik yang dengannya dapat dibedakan dan dengannya sesuatu tidak akan tercampur sesuatu dengan yang lainnya. Kekhususan aqidah islamiyah jumlahnya sangat banyak sekali, akan tetapi kami (penulisa kitab aslinya) mencukupkan diri dengan menyebutkan dua hal diantaranya,

[1] Keyakinan/iman Terhadap Perkara yang Ghaib

Ghaib (الغيب) adalah sesuatu yang tidak tampak oleh indra, hal yang ghaib ini tidak dapat diindra oleh kelima pancaindra berupa pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman dan indra pengecap.

Seluruh masalah aqidah dalam islam yang wajib atas seorang hamba untuk mengimaninya dan menyakininya sebagai aqidahnya adalah hal yang bersifat ghoib, seperti beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhirat, qodar, adzab dan nikmat qubur dan lain sebagainya yang merupakan perkara yang ghoib. Perkara ini diyakini sebagaimana yang dikabarkan di Kitabullah dan sunnah rosulNya shallallahu ‘alaihi was sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang beriman terhadap perkara yang ghoib. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الم . ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Alif Laam Miim. Itulah kitab yang tidak ada keraguan sedikitpun padanya, merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang orang-orang yang beriman terhadap perkara yang ghoib. (QS. Al Baqoroh [1] : 1-3).

[2] Aqidah Islamiyah Merupakan Aqidah yang Bersifat Tauqifiyah

Aqidah Islamiyah merupakan aqidah yang bersesuaian dengan Kitabullah dan hadits yang shohih dari Nabi Muhammad bin Abdillah shollallahu ‘alaihi was sallam.

Aqidah ini bukanlah merupakan sebuah perkara yang ijtihad berperan di dalamnya karena sumber aqidah islamiyah bersifat tauqifiyah (menunggu adanya dalil yang menetapkannya).

Aqidah yang benar adalah aqidah yang diyakini dengan seyakin-yakinnya, oleh karena itu sumbernya haruslah sesuatu yang bersifat bisa dipastikan kebenarannya. Seluruh sumber hukum yang bersifat sangkaan kuat (dzon) seperti qiyas (yang shohih), akal manusia, tidaklah sah dijadikan sebagai sumber pengambilan aqidah. Barangsiapa yang menjadikan sumber hukum yang bersifat dzon di atas sebagai sumber aqidah maka ia telah terjauhkan dari kebenaran dan ia telah menjadikan perkara aqidah dalam ruang itjtihad yang di sana terdapat kemungkinan salah dan benar.

Oleh karena itulah para ahli kalam semisal jahmiyah, mu’tazilah, Asy ‘ariyah[1] telah keliru. Hal ini disebabkan mereka menjadikan akal sebagai salah satu sumber dari sumber aqidah mereka bahkan mereka mengedepankan akal mereka di atas nash/dalil syari’at yang tegas sehingga letakkan Al Qur’an dam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengikuti akal (murnipent.) manusia. Hal ini merupakan sikap lancang/melecehkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam pada akhirnya mereka jadikan aqidah islamiyah tunduk pada pikiran manusia dan ijtihad akal.

Namun yang benar adalah akal berfungsi sebagai penguat terhadap nash-nash syari’i. Sehingga akal yang yang jernih menguatkan nash-nash/dalil-dalil yang shohih bukan malah menentangnya.

Dengan demikian apa yang diklaim oleh para ahlu ta’thil dan ahli ta’wil (fasidpent.) berupa adanya pertentangan antara akal dan nash-nash syari’at maka hal ini tidak lain karena disebabkan oleh cupetnya akal manusia. Oleh karena itulah ada orang yang menganggap ada pertentangan antara keduanya sedangkan orang lain tidak menganggapnya demikian.

Berdasarkan hal di atas maka (yang benar adalah) akal  ditempatkan sebagai penguat terhadap nash-nash syari’at dalam masalah aqidah dan bukan sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri. Dengan demikian akal tidaklah berdiri sendiri untuk memahami hal-hal yang ghoib dan perkara yang ilmu/akal manusia tidak sampai padanya sedangkan akal manusia adalah sesuatu yang tidak meliputi seluruh ilmu Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah,

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Ilmu mereka (mahluk Allahpent.)tidak dapat meliputi ilmu Allah”. (QS. Thooha [20] : 110).

Sekian perkataan beliau hafidzahullah. Namun pada akhir tulisan ini kami tambahkan beberapa hal yang menjadi kekhususan ahlus sunnah wal jama’ah[2], diantaranya :

  • Pertama, tidak ada seorangpun yang diikuti ahlus sunnah dengan fanatik kecuali Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah orang yang paling tahu tentang keadaan beliau dan perkata’an/hadits beliau.
  • Kedua, mereka menjadikan Al Kitab dan Sunnah sebagai imam mereka. Mereka mencari kebenaran dari keduanya.
  • Ketiga, mereka tidak memiliki gelar/nama tertentu sebagaimana yang dikatakan sebagaian imam (semisal imam Malik rohimahullah[3]).
  • Keempat, walaupun tempat mereka berbeda-beda namun aqidah mereka tetap satu, hal ini bisa dilihat dari kitab-kitab mereka dari yang ada pada masa awal hingga saat ini.
  • Kelima, mereka adalah kelompok pertengahan diantara firqoh-firqoh yang ada, sebagaimana islam merupakan pertengahan dari agama-agama yang ada.

Bersambung Insya Allah,….

Dikumpulkan, diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh

Orang yang amat mengharapkan ampunan Robbnya,

Aditya Budiman


[1] Lihat gambaran ringkas tentang hal ini dalam tulisan kami sebelumnya.

[2] Kekhususan ini kami ambil dengan perubahan redaksi dan peringkasan dari kitab Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jazainiy rohimahullah hal. 19-20, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[3] Lihat tulisan kami yang sebelumnya.

Tulisan Terkait

Leave a Reply