6 Jun
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Seputar Ziarah Kubur – 2
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Pada tulisan terdahulu kita telah sampai pada sub bahasan diperbolehkannya ziarah kubur bagi perempuan. Namun ada hal yang perlu menjadi perhatian dalam masalah ini yang akan diuraikan pada sub bahasan berikut.
[Kaum Wanita Tidaklah Boleh Terlalu Sering Berziarah Kubur]
Kaum wanita diperbolehkan berziarah kubur namun terlarang terlalu sering melakukannya. Hal ini disebabkan agar mereka tidak terjatuh dalam perbuatan melanggar syari’at semisal, berteriak-teriak, tabarruj dan menjadikan kuburan sebagai tempat mencari hiburan serta menyia-nyiakan waktu dalam kata-kata yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Al Albani rohimahullah mengatakan, “Insya Allah hal inilah yang dimaksudkan dalam hadits yang terkenal/masyhur ini,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ( اللهُ) زُوَّارَاتِ الْقُبُورِ
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam (Allah –demikian lafadz salah satu reaksi) melaknat peziarah qubur dari kalangan wanita”[1].
[Diperbolehkan Menziarahi Kubur Orang yang Meninggal Tidak Dalam Keadaan Islam Untuk Sekedar Mengambil Pelajaran]
Diperbolehkan hukumnya berziarah ke kubur orang yang meninggal tidak dalam keadaan memeluk Islam, namun hal ini dengan tujuan semata-mata mengambil pelajaran saja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam menziarahi kuburan ibunya. Beliaupun menangis dan menangis pulalah orang yang berada di sekitarnya. Lalu beliau shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Aku telah meminta izin kepada Robbku agar aku (boleh) memohonkam ampunan dosa-dosa ibuku namun aku tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin dari Nya agar diperbolehkan menziarahi kuburnya maka Dia pun mengizinkan. Berziarah kuburlah kalian karena ziarah kubur dapat mengingatkan kematian”[2].
Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melalui sahabat Buraidah rodhiyallahu ‘anhu,
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَزَلَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبٌ مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَفَدَاهُ بِالأَبِ وَالأُمِّ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ قَالَ « إِنِّى سَأَلْتُ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ فِى الاِسْتِغْفَارِ لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى فَدَمَعَتْ عَيْنَاىَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ وَإِنِّى كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَلِتَزِدْكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْراً
“Kami pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam dalam sebuah perjalanan (perang Fathul Mekkah), kemudian beliau singgah bersama kami sementara itu jumlah kami ketika itu mendekati seribu orang. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat dua roka’at. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dalam keadaan air matanya menetes. Kemudian Umar bin Khottob datang kemudian ia menyampaikan penebusan ayah dan ibunya[3] kemudian bertanya, “Apa yang terjadi padamu wahai Utusan Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menjawab, “Aku telah meminta izin kepada Robbku agar aku (boleh) memohonkam ampunan dosa-dosa ibuku namun aku tidak diizinkan maka mataku pun meneteskan air mata sebagai bentuk kasihan kepadanya akan adzab api neraka. Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian berziarah kubur namun berziarahlah sekarang mudah-mudahan ziarah kubur tersebut menambah kebaikan bagi kalian”[4].
Tujuan dari ziarah kubur itu ada dua :
1. Orang yang berziarah dapat mengambil manfaat dengan kematian orang-orang yang sudah meninggal dunia dan tempat kembali mereka hanyalah surga atau neraka[5].
2. Memberikan manfaat kepada jenazah dengan adanya salam, do’a dan permohonan ampun untuknya.
Mengenai hal ini terdapat beberapa hadits.
Pertama, hadits ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ « إِنِّى أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam suatu ketika pernah pergi ke perkuburan Baqi’ kemudian Beliau mendo’akan para penghuninya. Aku (‘Aisyah) bertanya kepada Beliau mengenai hal itu maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka”[6].
Kedua, hadits Buraidah rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُولُ – فِى رِوَايَةِ أَبِى بَكْرٍ – السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ – وَفِى رِوَايَةِ زُهَيْرٍ – السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam suatu ketika pernah mengajarkan mereka (para sahabat) jika mereka hendak pergi ke perkuburan (dalam riwayat Abu Bakar) kemudian ada salah seorang mereka mengucapkan “Semoga keselamatan terlimpah atas kalian wahai para penghuni kubur dari kalangan mu’minin dan kaum muslimin. Sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu dengan kalian. Aku berdo’a kepada Allah agar kami dan kalian mendapatkan keselamatan”[7].
[Tidak Disyari’atkannya Membaca Al Qur’an di Perkuburan]
Adapun pembacaan Al Qur’an ketika berziarah kubur maka hal ini sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Bahkan hadits-hadits yang disebutkan dalam pembahasan terdahulu mengisyaratkan tidak adanya pensyari’atan hal tersebut. Sebab jika membaca Al Qur’an di perkuburan itu memang disyari’atkan pasti Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam pernah mendatangi perkuburan untuk membaca Al Qur’an dan mengajarkannya pada para sahabatnya. Terlebih lagi beliau pernah ditanya oleh istri yang paling beliau cintai –‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha– tentang mengenai apa yang harus dia ucapkan saat berziarah kubur kemudian Beliau mengajarkannya salam dan berdo’a agar para penghuni kubur mendapatkan keselamatan namun tidak mengajarkan membaca Al Fatihah ataupun surat-surat lainnya dari Al Qur’an. Seandainya membaca Al Fatihah ataupun surat-surat lain dalam Al Qur’an itu disyari’atkan maka niscaya Beliau tidak akan menyembunyikannya dari ‘Aisyah. Karena sebagaimana kaidah yang ada dalam ilmi Ushul Fiqh “Tidak boleh menunda penjelasan pada saat dibutuhkan”.
Diantara hadits yang mengisyaratkan tidak disyari’atkannya membaca Al Qur’an di perkuburan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagaimana kuburan. Sesungguhnya Syaithon lari dari rumah yang dibacakan surat Al Baqoroh”[8].
Dengan demikian Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengisyaratkan bahwa kuburan itu bukan tempat untuk membaca Al Qur’an. Oleh karena itu Beliau memerintahkan membaca Al Qur’an di dalam rumah dan pada saat yang bersamaan Beliau juga melarang menjadikan rumah sebagaimana kuburan yang tidak dibacakan Al Qur’an.
[Diperbolehkan Mengangkat Tangan Saat mendo’akan Penghuni Kubur]
Diperbolehkan mengangkat tangan saat mendo’akan keselamatan untuk penghuni kubur, hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha,
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ ، فَأَرْسَلْتُ بَرِيرَةَ فِي أَثَرِهِ ، لِتَنْظُرَ أَيْنَ ذَهَبَ ، قَالَتْ : فَسَلَكَ نَحْوَ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ ، فَوَقَفَ فِي أَدْنَى الْبَقِيعِ ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ ، فَرَجَعَتْ إِلَيَّ بَرِيرَةُ ، فَأَخْبَرَتْنِي ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ سَأَلْتُهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيْنَ خَرَجْتَ اللَّيْلَةَ ؟ قَالَ : بُعِثْتُ إِلَى أَهْلِ الْبَقِيعِ لأُصَلِّيَ عَلَيْهِمْ.
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam pergi pada suatu malam lalu aku (‘Aisyah) mengutus Buraidah untuk membuntuti Beliau untuk melihat kemana Beliau pergi. Dia mengatakan, “Ternyata Beliau pergi menuju seputar perkuburan Baqi’ (Al Ghorqod). Lali Beliau berhenti di bagian bawah Baqi’ kemudian mengangkat kedua tangannya lalu kembali pulang. Bariroh pun kembali menemuiku dan memberitahukanku (apa yang terjadi). Maka tatkala aku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam akupun bertanya kepadanya, “Wahai Rosulullah kemanakah engkau pergi semalam?” Baliau menjawab, “Aku diutus untuk mendatangi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk mendo’akan mereka”[9].
[Berdo’a Mengahadap Ka’bah Bukan Kuburan]
Ketika mendo’akan para penghuni kubur tidak boleh menghadap ke arah kuburan tetapi harus menghadap ka’bah. Hal ini karena ada larangan sholat menghadap kuburan dari Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dan sebagaimana diketahui bahwa do’a adalah inti sholat yang memiliki hukum-hukum tersendiri sebagaimana yang telah dikenal dikalangan para ulama’. Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ (قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ)
“Do’a adalah ibadah, Robb kalian telah berfirman, “Berdo’alah kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan”[10].
[Diperbolehkan Berziarah ke Makam Orang Kafir Namun Tidak Mengucapkan Salam dan Do’a]
Jika berziarah ke makam orang kafir hendaklah tidak mengucapkan salam dan mendo’akan mereka namun hendaklah memberitahukan bahwa neraka yang akan menjadi tempat kembali mereka. Hal ini diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : إِنَّ أَبِي كَانَ يَصِلُ الرَّحِمَ ، وَكَانَ وَكَانَ ، فَأَيْنَ هُوَ ؟ ، قَالَ : فِي النَّارِ ، فَكَأنَّ الأَعْرَابِيَّ وُجِدَ مِنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَأَيْنَ أَبُوكَ ؟ ، قَالَ : حَيْثُ مَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ ، قَالَ : فَأَسْلَمَ الأَعْرَابِيُّ بَعْدُ ، فَقَالَ : لَقَدْ كَلَّفَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعَبًا ، مَا مَرَرْتُ بِقَبْرِ كَافِرٍ إِلا بَشَّرْتُهُ بِالنَّارِ.
“Seorang arab baduwi mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam kemudian dia mengatakan, “Sesungguhnya ayahku biasa menyambung tali silaturohim selain itu dia juga sering melakukan amalan ini dan itu. Maka di manakah tempatnya ?” Nabi menjawab, “Dia di neraka”. Seakan-akan orang badui itu merasakan sesuatu dan bertanya, “Lalu dimana ayahmu ?” Beliau shollallahu ‘alaihi was sallam menjawab, “Dimanapun engkau melalui perkuburan orang kafir maka sampaikanlah kabar gembira pada mereka berupa neraka”. Sa’ad melanjutkan, setelah itu orang badui tadi masuk islam lalu berkata, “Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam telah memberikanku beban yang melelahkan, tidaklah aku melintasi perkuburan orang kafir melainkan aku kabarkan berita gembira pada mereka yaitu neraka”[11].
[Tidak Diperbolehkan Berjalan di antara Kuburan Kaum Muslimin dengan Menggunakan Sandal]
Tidak boleh berjalan di antara kuburan kaum muslimin dengan menggunakan sandal, hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
كُنْتُ أَمْشِى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَمَرَّ عَلَى قُبُورِ الْمُسْلِمِينَ…… فَبَيْنَمَا هُوَ يَمْشِي إِذْ حَانَتْ مِنْهُ نَظْرَةٌ، فَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ يَمْشِي بَيْنَ الْقُبُوْرِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ « يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ ». فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا.
“Suatu ketika aku berjalan bersama Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam beliaupun melalui perkuburan kaum muslimin….Ketika Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam berjalan, pandangannya terhenti dan tertuju pada satu arah. Ternyata pada seorang laki-laki yang memakai sandal berjalan di antara kuburan. Beliau pun mengatakan, “Wahai orang yang memakai sandal celakalah engkau, lepaskanlah kedua sandalmu”. Orang itupun memandang ke arah Nabi dan ketika ia menyadari bahwa yang mengatakan itu adalan Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam ia pun melepas kedua sandalnya dan melemparkannya”[12].
[Tidak Disyari’atkan Menanam/Meletakkan Pohon (Pelepahnya) dan Bunga di Atas Kuburan]
Tidak disyari’atkan menanamkan pohon/meletakkannya di atas kuburan, demikian juga dengan bunga. Sebab hal ini tidak pernah dilakukan para sahabat. Seandainya hal itu baik maka tentulah mereka berlomba-lomba mengerjakannya dan mengajarkannya kepada kita. Bahkan Ibnu ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap perkara baru dalam agama (bid’ah) adalah sesat walaupun manusia menganggapnya hasanah (baik)”[13].
Tambahan[14] :
Jika ada yang berdalil tentang disyari’atkannya hal ini dengan apa yang dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sebagai berikut,
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ » . ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً ، فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ ، فَغَرَزَ فِى كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ « لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا » .
“Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam melalui dua kuburan lalu mengatakan, “Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diadzab, dan mereka tidaklah diadzab karena sebuah perkara yang besar. Salah seorang mereka diazdab karena tidak berusaha agar ketika buang air tidak dilihat orang adapun yang lainnya diadzab karena melakukan namimah”. Kemudian Beliau mengambil jadiroh (semisal pelepah kurma/ semisal ranting pada pohon lainnya)[15] yang masih basah kemudian membelahnya/meremukkannya[16] menjadi dua bagian dan menancapkannya setiap bagian pada masing-masing kuburan. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rosulullah mengapa engkau lakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan adzab mereka diringankan selama pelepah tersebut masih basah”[17].
Maka syubhat ini bisa dibantah dengan bantahan sebagai berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan hal ini hanya pada dua orang tersebut saja tidak kepada yang lain. Maka hadits ini tidaklah bisa dijadikan dalil umum.
Kedua, para sahabat tidak melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam maka hal ini menunjukkan hadits ini/peristiwa itu hanya khusus untuk kedua penghuni kubur tersebut.
Ketiga, jika yang menjadi sebab atau ‘Illah peringanan adzab itu adalah pelepah kurma yang basah maka mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membelah pelepah kurma tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama jika pelepah tersebut dibelah maka akan lebih cepat kering dibandingkan jika tidak dibelah padahal Beliau shallallahu ‘alaihi was sallam adalah orang yang sangat kasih sayang pada ummatnya.
Keempat, bahkan yang menjadi sebab adzab mereka diringankan Allah adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا) “Mudah-mudahan adzab mereka diringankan” sebagaimana yang terdapat dalam teks hadits.
Maka cukuplah hal ini untuk membukakan hati kita akan kesalahan yang selama ini kita yakini benarnya dan kita amalkan, Allahu a’lam bish showab.
Sigambal,
Jum’at di penghujung waktu ‘’isya’,
Aditya Budiman bin Usman
03 Juni 2011 M.
[1] HR. Tirmidzi (156/II), Ibnu Majah (478/I), Ibnu Hibban (790), Al Baihaqi (78/IV), Ath Thoyalisi (171/I), Ahmad (337/II), Ibnu Abdil Barr (234-235). Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih dengan beberapa penguat.
[2] HR. Ahmad (355, 357, 359/V), Ibnu Abi Syaibah (139/IV). Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani.
[3] Hal ini merupakan kebiasaan orang arab.
[4] HR. Muslim (65/III dan 82/VI), Abu Dawud (72/II dan 131), dari jalurnya Al Baihaqi (77/IV), An Nasa’i (285/I, 286, 329/II, 330), Ahmad (350/V, 355, 356, 361). Tambahan pertama dan kedua milik Ahmad, sedangkan tambahan yang senada milik Abu Dawud. Adapun tambahan yang kedua dan ketiga milik An Nasa’i.
[5] Dalilnya sebagaimana hadits di atas.
[6] HR. Ahmad (VI/252) dan sanadnya shahih dengan syarat Syaikhaini (Bukhori Muslim). Makna hadits ini ada pada Muslim. Syaikh Sy’aib Al Arnauth mengatakan “Shahih sesuai syarat Muslim”.
[7] HR. Muslim (III/65).
[8] HR. Muslim (II/188).
[9] HR. Ahmad (VI/92), Malik dalam Al Muwatho’ (I/239-340), An Nasa’i (I/287).
[10] Diriwayatkan Ibnul Mubarok dalam Az Zuhd (X/151), Al Bukhori dalam Al Adab Al Mufrod (714), Abu Dawud (I/551), Tirmidzi (IV/178, 223) Ibnu Majah (II/428-429) dll dengan sanad yang shahih.
[11] Diriwayatkan Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir (I/1919/1), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 588 dengan sanad yang shahih.
[12] Diriwayatkan oleh penulis Kitab Sunan dengan sanad hasan.
[13] Diriwayatkan oleh Ibnu Bathoh dalam Al Ibanah ‘an Ushuli Diyanah (II/112/2), Al Lalikai dalam As Sunnah (I/21/1), dengan status mauquf dengan sanad shahih.
[14] Dari Kami.
[15] Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asy Syafi’i rohimahullah hal. 204/XXIII, Syamilah.
[16] Idem hal. 341/I.
[17] HR. Bukhori no. 218, Muslim no. 292.
Leave a Reply