Jika Ngantuk Pada Saat Khutbah Jum’at

27 Mar

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Jika Ngantuk Pada Saat Khutbah Jum’at

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin yang telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam, istri-istri Beliau, Keluarganya, para Sahabatnya dan ummat Beliau yang senantiasa meniti jalannya dengan baik hingga hari kiamat.

Ngantuk, kantuk, mengantuk adalah sebuah hal yang sering kita jumpai pada saat hadir di pengajian, khutbah Jum’at, Khutbah ‘Idul Fithri maupun ‘Idul ‘Adha. Bahkan mungkin sebagian dari kita adalah orang yang sering atau pernah mengalami hal di atas.

Yang lebih menakjubkan lagi adalah perkataan sebagian orang, ‘Kalau mau tidur pulas, datanglah ke pengajian, atau hadirilah khutbah Jum’at’. Dan yang lebih membuat kita takjub lagi adalah mereka berdalil pula dengan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya kalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum/sekelompok orang berkumpul di salah satu dari rumah Allah yang mereka membaca Kitab Allah dan saling mengajarkannya diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan dan mereka akan ‘dihujani’ rahmat….”[1]

Hadits yang mulia di atas bukanlah sama sekali dalil bagi mereka karena ketenangan yang dimaksudkan bukanlah tertidur. An Nawawiy Rohimahullah mengatakan,

وقيل الطمأنينة والوقار هو أحسن

“Disebutkan bahwa makna (السَّكِينَةُ) adalah tuma’ninah/ketenangan hati dan Wiqor/ketenangan”[2].

Jadi yang jelas, mengantuk ketika mendengarkan kajian, khutbah jum’at ataupun sholat adalah sesuatu tercela. Bahkan menguap yang menjadi awal atau tanda dari ngantuk adalah sesuatu yang dibenci Allah Subhana wa Ta’ala. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ وَلاَ يَقُلْ هَاهْ هَاهْ فَإِنَّمَا ذَلِكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ يَضْحَكُ مِنْهُ

“Sesungguhnya Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Jika salah seorang dari kalian menguap maka hendaklah dia menahannya semampunya. Janganlah dia mengatakan ‘Ha…Ha…’ karena hal itu berasal dari Syaithon dan dia tertawa karenanya”[3].

Ibnu Al ‘Arobiy Rohimahullah mengatakan, “Menguap menunjukkan dan menyebabkan kemalasan. Hal itu dengan perantara syaithon….”[4].

Lalu bagaimana jika kita tetap menguap ?

[1]. Solusi hal ini telah terdapat dalam hadits di atas, yaitu hendaklah ia tahan semampunya. Namun untuk keadaan di luar sholat wajib maka adala solusi Nabawiyah dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam adalah berpindah tempat. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ إِلَى غَيْرِهِ

“Jika salah seorang dari kalian mengantuk di majelis/sidang pada hari Jum’at maka hendaklah ia berpindah dari tempat tersebut ke tempat yang lain”[5].

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukaniy Asy Syafi’i Rohimahullah mengatakan,

Untitled

“Hikmah dari perintah untuk berpindah tempat ini adalah sesungguhnya gerakan akan menghilangkan kantuk. Kemungkinan hikmah lainnya adalah perpindahan dari tempat yang kantuk mengalahkannya dan lalai karena tertidur. Walaupun orang yang tertidur tidaklah berdosa (pada dasarnya –ed.)”[6].

[2]. Solusi lainnya adalah dengan mempersiapkan diri sedini mungkin sebelum berangkat ibadah Jum’at. Semisal istirahat yang cukup dan tidak membuat/menghadiri halaqoh/pengajian sebelum Ibadah Jum’at jika dikhawatirkan ngantuk pada saat sholat Jum’at. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّحَلُّقِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ

“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam melarang dari membuat halaqoh pada hari Jum’at sebelum dilaksanakan sholat Jum’at, melantunkan syair di mesjid dan jual beli di mesjid”[7].

Syaikh DR. Musa Alu Nashr hafidzahullah mengatakan,

Untitled2

“Halaqoh pada hadits ini memiliki dua makna. Makna secara bahasa dan syar’i. Adapun makan loghowi adalah sekelompok manusia yang membuat lingkaran seperti lingkarang pintu. Halaqoh dalam hadits ini berbentuk wazan Tafa’ul yang memiliki arti bersengaja melakukan hal itu.

Adapun makna syar’inya adalah berkumpul untuk belajar walaupun bentuknya tidak melingkar. Kedua makna di atas termasuk makna larangan pada hadits di atas. Allahu a’lam”[1].

Namun larangan ini tidaklah bersifat mutlak, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin Rohimahullah,

سئل فضيلة الشيخ – رحمه الله تعالى -: ما حكم التحلق في المسجد قبل صلاة الجمعة؟

فأجاب فضيلته بقوله: ورد عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه نهى عن التحلق يوم الجمعة، وذلك لأن التحلق يوم الجمعة يؤدي إلى تضييق المسجد على المصلين القادمين إليه، لاسيما إذا كانت الحلق قريباً من كثرة الحضور وكان المسجد ضيقاً، فإن ضررها واضح جداً، أما إذا لم يكن فيها محذور فإنه لا محظور فيها؛ لأن الشرع إنما ينهى عن أشياء لضررها الخالص أو الغالب.

Fadhilatu Syaikh Rohimahullah pernah ditanya, “Apa hukumnya membuat/menghadiri halaqoh di mesjid sebelum dilaksanakan sholat Jum’at ?”

Beliau Rohimahullah menjawab,

“Terdapat riwayat dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam larangan dari membuat halaqoh pada hari Jum’at. Hal ini karena membuat/menghadiri halaqoh pada Hari Jum’at menyebabkan sempitnya mesjid bagi orang-orang yang datang dahulu untuk melaksanakan sholat Jum’at. Terlebih lagi apabila halaqoh tersebut dekat waktunya dengan adzan sehingga dekat dengan waktunya orang datang untuk sholat Jum’at sehingga mesjid menjadi terasa sempit. Bahaya hal ini jelas dapat kita lihat dan rasakan. Adapun jika tidak terdapat padanya sesuatu yang dikhawatirkan bahayanya maka hal ini tidak mengapa. Karena Syari’at hanya melarang sesuatu yang bahayanya murni atau lebih banyak dari manfaatnya”[2].

[3]. Solusi lainnya adalah mengakhirkan waktu mandi Jum’at hingga dekat dengan waktu akan berangkat sholat Jum’at. Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudriy Rodhiyaallahu ‘anhu,

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi Jum’at itu wajib bagi orang yang telah baligh”[3].

Demikian juga hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ

“Jika salah seorang dari kalian hendak melaksanakan sholat Jum’at maka mandilah”[4].

Dianjurkan mengakhirkan mandi Jum’at hingga ketika akan berangkat sholat Jum’at. Hal karena tujuan dari disyari’atkannya mandi Jum’at adalah membersihkan diri dan menghilangkan bau yang tidak sedap. Hal inilah mungkin pandangan Imam Malik Rohimahullah.[5]

 

 

Mudah-mudahan bermanfaat dan kita bisa mencurahkan perhatian penuh ketika khotib sedang berkhutbah..

Sigambal, Kamis 26 Jumaadil ‘Ulaa 1435 H/ 27 Maret 2014 M

 

Aditya Budiman bin Usman

-yang mengharap ampunan Robbnya-



[1] Lihat Al Lum’ah fi Hukmi Al Ijtima’ li Dars Qobla Jum’ah oleh Syaikh DR. Musa Alu Nashr hafidzahulla. [dalam shohih Fiqh Sunnah hal. 579/I]

[2] Majmu Fatawa Ibnu ‘Utsaimin hal. 100/XVI.

[3] HR. Bukhori no. 879, Muslim no. 846.

[4] HR. Bukhori no. 877, Muslim no. 844.

[5] Seputar mandi Jum’at silakan buka di sini.



[1] HR. Muslim no. 7028.

[2] Lihat Al Minhaj.

[3] HR. Abu Dawud no. 5030, Tirmidzi no. 2747 dan Bukhori dalam Adabul Mufrod no. 919. Syaikh Al Albani Rohimahullah menyatakan hadits ini shohih.

[4] Lihat Rosyul Barod Syarh Adabul Mufrod oleh Syaikh DR. Muhammad Luqman As Salafiy hal. 511.

[5] HR. Abu Dawud no. 1119, Tirmidzi no. 526 dan Ahmad no. 4741. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al Albani Rohimahullah.

[6] Lihat Nailul Author hal. 298/III.

[7] HR. Abu Dauwd no. 1076 dan lain-lain. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani Rohimahullah.

 

 

تفعُّل

Tulisan Terkait

Leave a Reply